Belajar Lebih Peka Mengamati, Tak Sekadar Jadi Penikmat Destinasi

Untuk apa kamu traveling, bertualang ke sana kemari? Untuk kabur dari rutinitas? Bukankah setelah itu kamu pun harus kembali pada rutinitas? Lalu untuk apa?

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Bersantai menikmati matahari terbenam di Gili Trawangan, Lombok. Sumber foto: dearmomimokay

“…selama kita berpikir traveling hanya untuk kabur, saya pikir tak akan ada hal yang didapat, kecuali rasa bebas sesaat.  Traveling untuk belajar menyerap ilmu mungkin akan meninggalkan bekas lebih lama dalam diri, dari sekadar uang habis dan rasa lelah.

‘Kita tidak dapat ikan. Tak ada ikan buat makan kalian hari ini.’ Ia rupanya masih memikirkan soal ikan yang tak tertangkap satu pun.

Kali ini saya bisa melihat wajahnya. Kacamata hitam yang selama pelayaran tadi menutupi matanya telah dilepas, bertengger di kepala. ‘Kita makan saja sayur, Pak,’ kata saya sambil tertawa-tawa. Saya bilang kepadanya bahwa sehari-hari pun saya lebih suka makan sayur.

‘Ah, jangan! Jauh-jauh kalian ke sini, masa kami kasih bunga pepaya, terong, dan kangkung saja,’ jawab Apsalom sambil berjalan. Saya mengekorinya. Di depan sana, teman-teman yang sudah lebih dulu mendarat berlarian sambil tertawa-tawa dan saling meledek. Kata Akmal, menemani kami adalah liburan buat mereka, seperti wisata meskipun yang dijelajahi kampung sendiri.

‘Kita bisa potong ayam saja nanti.’ Apsalom seperti berbicara sendiri.

Berusaha menahan kapal. Raymond tengah menahan kapal sewaktu berlabuh di tepi pantai agar tak terseret gelombang. Foto oleh Windy Ariestanty

Itu sepenggal percakapan antara Windy Ariestanty dengan Apsalom Korano, kepala adat Suku Nunsiari dalam tulisan Windy yang diterbitkan di Phinemo berjudul Di Suatu Tempat Bernama Sawenduy. Dalam tulisannya, Windy menyebut jika penduduk Kampung Sawenduy mengajarkannya banyak hal baru, yaitu tentang memberikan yang terbaik untuk orang lain, dimana pada umumnya yang terbaik pasti akan selalu disimpan untuk diri kita sendiri. Kalau kata Windy,  itu bukan sekadar menjamu. Itu soal memberikan yang terbaik untuk orang lain. Juga soal menerima dan mengizinkan orang tersebut melakukannya untuk kita. Soal kebersediaan.

Untuk apa traveling?

Bagi sebagian orang, -termasuk saya-, perjalanan adalah cara untuk melarikan diri dari rutinitas harian yang monoton. Seperti perjalanan saya ke Banyuwangi beberapa bulan lalu, mendaki Gunung Ijen untuk melihat api biru,  merebah santai di padang rumput Taman Bengkol Baluran yang sedang hijau-hijaunya saat itu, atau bercengkrama dengan monyet-monyet di Pantai Bama –daripada bercengkrama mungkin lebih tepat uji kesabaran karena monyet-monyet itu sungguh usil.

Deadline dan tekanan pekerjaan –secinta apapun kita pada pekerjaan itu, memaksa kita mencari cara ‘kabur’sejenak. Ya, hanya untuk mengambil napas sejenak, untuk kemudian kembali ke tumpukan berkas dan juga omelan bos.

Seorang teman bahkan berkomentar,”Ngapain capek-capek liburan, refreshing, kalau akhirnya kamu balik lagi ke rutinitas yang membuat fisik dan pikiran lelah. Refreshingmu nggak guna.” Teman saya yang satu ini memang memiliki “passion” tinggi dalam hal nyinyir. Mungkin ia tipe orang yang berpikir, “untuk apa makan kalau nanti lapar lagi”.

Tapi, kali ini ia benar.

Sebut saya pemikir atau berlebihan, tapi pertanyaan “apa yang saya dapat setelah traveling” sering hinggap di pikiran. Bagi sebagian orang mungkin saya berlebihan. Untuk apa hal seperti itu dipikirkan, traveling tinggal traveling saja, tak perlu banyak berpikir. Traveling untuk senang-senang, untuk apa dibuat rumit.

Bercengkrama dengan bocah-bocah Dusun Padau, Batu Payung, Lombok. Foto oleh Indah Fajarwati

Saat melakukan perjalanan itu memang saya merasa benar-benar bebas, plong! Benar kata orang, traveling memang cara paling cocok untuk menghibur diri dan kabur dari rutinitas harian yang membuat penat. Tapi  setelah itu, kepala, tangan dan kaki terasa sangat berat saat harus kembali pada rutinitas.

Saya mulai berpikir, traveling itu hal yang sia-sia.

Memaknai perjalanan

Namun, setelah membaca ulang tulisan-tulisan Windy, baik di bukunya yang berjudul Life Traveler, blog pribadi, maupun di Phinemo, saya menemukan hal menarik. Ia, selalu mendapat oleh-oleh menarik dari perjalanannya. Ada pelajaran baru di tiap perjalanan yang dilakukan.

Di Sawenduy, ia mendapat pelajaran tentang kebersediaan memberi yang terbaik bagi orang lain, di Korea ia belajar tentang arti “komunikasi” dari kejadian konyol mencari handuk di supermarket, di kapal setelah perjalanan Maroko, percakapannya dengan seorang awak kapal mengajarkan tentang nikmatnya bisa berbicara dengan orang lain –hal sepele yang sering terlupakan, atau pelajaran tentang toleransi umat beragama di Chefchaouen, Maroko, tempat dimana yahudi dan umat muslim hidup berdampingan.

Tulisan Windy selalu membuat kening saya berkerut. Bukan karena tak paham isinya, lebih karena rasa heran, Windy selalu mampu menangkap ‘hal kecil’ yang mungkin tak semua orang jeli menangkapnya. Tentang masalah menjamu tamu –yang bagi orang lain mungkin hal sepele, Windy mampu ‘menangkap’ itu.

Saya pikir, ia termasuk orang yang beruntung. Orang yang bisa memaknai hal –sekecil apapun- dalam perjalanannya. Syaa selalu iri dengan orang-orang seperti itu. Tak semua orang bisa melakukannya, itu tak mudah.

Pria paruh baya menghabiskan sore dengan memancing di Danau Balekambang bersama 2 cucunya. Foto oleh Phinemo

Itulah hiburan sebenarnya dari traveling. Bukan sekadar kabur dari rutinitas ataupun mencari jati diri, tapi lebih pada belajar “menyerap ilmu”. Bukan belajar mencari ilmu, tapi belajar menyerap ilmu. Ilmu tersedia di sekitar kita, hanya bisa atau tidak kita menyerapnya. Traveling membantu kita lebih peka akan hal itu. Dengan memaknai berbagai macam hal dalam perjalanan membuat kita lebih peka menyerap ilmu di sekitar.

Selama kita berpikir traveling hanya untuk kabur, saya pikir tak akan ada hal yang didapat, kecuali rasa bebas sesaat.  Traveling untuk belajar menyerap ilmu mungkin akan meninggalkan bekas lebih lama dalam diri, dari sekadar uang habis dan rasa lelah.

Apakah cara traveling yang sekadar untuk bersenang-senang salah? Bukankah tiap orang punya hak untuk melakukan traveling dengan tujuan yang mereka buat sendiri.

Tentu saja tidak, tiap orang bebas memilih tujuannya melakukan perjalanan, dan traveling bagi saya tetap untuk bersenang-senang, hanya saja bersenang-senang sambil belajar menyerap ilmu.

Dan ya, saya siap traveling dengan tujuan baru, sepertinya akan menyenangkan. Bagaimana denganmu?

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU