Nama Putri Cempa mungkin kurang begitu populer di kalangan para muda, namun diantara para sejarawan sosoknya begitu penting dalam sejarah perkembangan Kerajaan Majapahit. Dalam Babad Tanah Jawa, Putri Cempa beberapa kali disebut. Dia adalah seorang putri jelita dari Kerajaan Champa di Vietnam yang kemudian diperistri oleh Prabu Brawijaya dari Majapahit.
Pada suatu malam, Prabu Brawijaya bermimpi memiliki istri dari Negeri Champa. Paginya, ia mengutus Patih Gajah Mada untuk mengirimkan surat lamaran kepada raja di Kerjaan Champa. Sang raja menerima lamaran itu. Salah seorang putri pun dibawa ke Jawa bersama dengan Gong Kiai Sekar Delima dan tandu Kiai Jebat Bedri. Rombongan sampai di Majapahit, dan putri bertemu dengan Prabu Brawijaya.
Setelah menikah dengan putri yang kemudian dikenal sebagai Putri Cempa, Prabu Brawijaya menikah lagi dengan Putri Cina. Prabu Brawijaya begitu mengasihi Putri Cina hingga membuat Putri Cempa cemburu. Ia tidak rela dimadu dan meminta untuk dipulangkan jika Putri Cina tidak disingkirkan. Namun karena mencintai Putri Cempa, sang prabu mengutus patih Gajah Mada untuk menyerahkan Putri Cina kepada Arya Damar di Palembang.
Begitulah kisah Putri Cempa dalam Babad Tanah Jawa. Makam Putri Cempa terletak di kawasan situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Lokasinya tak jauh dari Kolam Segaran. Masih banyak masyarakat yang datang berziarah. Orang-orang terkadang menyebutnya dengan nama Putri Cempo. Makan ini bahkan pernah dikunjungi oleh J.W.B. Wardenaar atas perintah Thomas Stamford Raffless pada tahun 1815.
Selain di Twoulan, makan Putri Cempa juga ditemukan di Gresik, tepatnya di Gunungsari, Sidomoro, Kebomas. Tidak jauh dari kompleks makam wali Sunan Giri. Melihat kenyataan itu, Kebenaran tentang sosok Putri Cempa masih dianggap simpang siru. Beberapa ahli bahkan menyebut makan di Trowulan lebih mirip sebagai batu peringatan daripada nisan atau makam.
Kerajaan Champa merupakan salah satu kerajaan kuno yang menguasai wilayah Vietnam Selatan dan Vietnam Tengah pada abad ke-7 M hingga tahun 1832. Kepercayaan dan budaya dari Kerajaan Champa dipengaruhi oleh Tiongkok. Setelah ditaklukan Kerajaan Funan dari Komboja, Champa menganut ajaran Hindu. Pada abad ke-10 M seiring masuknya pedagang dari Arab, mayoritas masyarakat Champa berpindah meyakini Islam.
Kerajaan ini juga memiliki hubungan yang erat dengan sejumlah kerajaan-kerajaan di Jawa pada masa Hindu-Budha sampai Islam. Catatan tertua tentang Kerajaan Champa ditemukan di Kalimantan Timur, tepatnya pada masa Kerajaan Kutai Kertanegara di abad ke-4 M. Diketahui bahwa Kerajaan Kutai Kertanegara didirikan oleh Mulawarman yang merupakan cucu dari Kudungga, seorang pembesar dari Kerjaan Champa era Hindu.
Pada abad ke-7 M, Kerajaan Champa berhasil ditaklukan oleh Sriwijaya di Palembang, Setelah Sriwijaya dikalahkan Singasari, seluruh negara yang ditaklukan Sriwijaya berada di bawah kuasa Singasari, tidak terkecuali Kerajaan Champa. Setelah Singasari runtuh, Kerajaan Champa banyak menjalin kerjasama dengan Kerajaan Majapahit dan sejumlah kesultanan-kesultanan Islam di Pulau Jawa setelahnya.
Beberapa beranggapan bahwa nama Putri Cempa hanyalah julukan karena mereka berasal dari Kerajaan Champa. Mereka sebenarnya memiliki nama sendiri, Putri Cempa di Majapahir dan di Gresik konon adalah orang yang berbeda. Putri Cempa yang dinikahi Prabu Brawijaya bernama Dwarawati yang nantinya berputra Raden Patah yang akan menjadi pendiri kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, Kerajaan Demak.
Saat dinikahi oleh Prabu Brawijaya, Dwarawati sudah beragama Islam, itulah kenapa anaknya yaitu Raden Patah juga beragama Islam. Bahkan Putri Cempa di Gresik yang bernama Chandrawulan memiliki anak yang nantinya menjadi wali di tanah Jawa, Sunan Ampel. Oleh karena itu islamisasi Majapahit dan Jawa tidak lepas dari peran para putri Cempa.
Dwarawati dan Chandrawulan merupakan kakak beradik. Saat itu Champa berhasil diislamkan oleh Maulanan Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Sebagai imbalan Raja Champa menikahkan putrinya Chandrawulan dengannya. Bertahun-tahun setelah Dwarawati diperistri Prabu Brawijaya, Sunan Gresik dan Cahndrawulan pindah ke Jawa dan menyebarkan agama Islam. Bersama dengan para wali lain dan kemenakannya, Jawa diislamisasi.