Suku Yali secara administratif termasuk penduduk Kabupaten Yahukimo bersama dengan suku lainnya. Kabupaten Yahukimo ini merupakan Kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Nama Yahukimo pun diambil dari singkatan nama empat suku besar yang mendiami wilayah tersebut, yakni suku Yali, Hubla, Kimyal, serta suku Momuna. Suku Yali mendiami pegunungan tengah Jayawijaya, di lembah raksasa Baliem.
Suku Yali sebenarnya memiliki kebudayaan yang hampir mirip dengan suku – suku lain di Papua. Namun, satu hal yang begitu mencolok dan menjadi ciri masyarakat Yali yakni tinggi badan manusia dewasanya hanya berkisaran 150 cm. Memang terkadang terdapat pengecualian, namun rata – rata tinggi penduduknya tak lebih dari 150 cm.
Mengenakan perhiasan merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman nenek moyang beribu tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya perhiasan emas dari 4000 tahun lalu di daerah Peru. Seperti halya suku – suku lain di dunia, masyarakat suku Yali juga menyukai pernak pernik perhiasan.
Perhiasan suku ini umumnya dibuat dari rangkaian kerang – kerangan, bulu burung hingga taring babi. Koteka yang dikenakan oleh suku ini pun berbeda dengan suku – suku lainnya. Masyarakat Yali mengenakan koteka yang ukuranya panjang, dan saat dikenakan koteka agak horisontal dan lurus ke depan, menutupi bagian dada dengan lilitan tali rotan.
Suku Yali juga menerapkan pengetahuan medis dalam kehidupan sehari-hari mereka. Suku yang mendiami lembah Baliem ini umumnya menggunakan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan suatu penyakit.
Masyarakat Yali biasanya menggunakan dedaunan tradisional untuk mengatasi penyakit. Misalnya daun bernama yabi yang digunakan untuk mengatasi sakit badan.
Suku Yali memiliki dua bahasa utama, yakni bahasa Yali Moo dan bahasa Meek. Selain itu, bahasa Yali juga terbagi menjadi dialek – dialek. Pengguna bahasa Yali yakni Yali Angguruk, Yali Apahapsili, Yali Abenaho dan Yali Ninia.
Orang Yali pada dasarnya multilingual, di mana mereka dapat menggunakan beberapa bahasa sekaligus. Misalnya bahasa Yali, Meek, Dani, dan Lani. Selain itu, mereka juga mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan benar.
Sama halnya suku suku lain di Indonesia, orang suku Yali pun memiliki adat istiadat dan tradisi yang unik dalam adat pernikahan. Masyarakat Yali menggunakan babi atau wam sebagai mahar. Jika mahar yang diberikan dinilai terlalu kecil, mempelai pria merasa harga dirinya rendah dan malu. Untuk itu, biasanya orang tua waita memberi waktu satu tahun atau lebih untuk menyesuaikan mahar. Namun, budaya ini juga berangsur – angsur tergerus akibat perubahan zaman.
Suku Yali masih meyakini kepercayaan animisme dan dinamisme. Penduduk suku Yali sendiri mempercayai dan menyembah ular.
Pada upacara-upacara tradisional, masyarakat Yali melakukan persembahan dengan memotong wam (babi) yang darahnya diletakkan di daun keladi. Daging babi tersebut kemudian dimasak dan dibawa untuk diberikan kepada ular.
Terlepas dari kepercayaan tersebut, ada juga sebagian masyarakat yang masih mempercayai tuan tanah, dan masih menganggap keramat benda – benda dan alam seperti gunung. Meski demikian banyak juga masyarakat Yali yang memeluk agama, yakni Kristen Protestan.