Memegang teguh semboyan Bhineka Tunggal Ika, mencerminkan bahwa Indonesia memang memiliki banyak budaya, suku dan ras yang bisa saling ebrdampingan meski berbeda. Berbagai bentuk akulturasi pun tampak dalam kehidupan sehari, baik dari tradisi maupun bangunan. Salah satunya bisa kita lihat Masjid Angke Jakarta Barat.
Masjid Angke Jakarta dibangun pada hari Kamis, tanggal 2 April 1761 M. Yang unik, masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Al-Anwar ini dibangun oleh seorang wanita Tionghoa Muslim. Wanita ini bernama Ny. Tan Nio yang menikah dengan warga Banten kala itu.
Ini adalah potret Masjid Angke Jakarta pada tahun 1921. Bangunannya terlihat tua dan seperti hampir runtuh. Namun jika mengingat kembali ke masa lalu, dulu di tempat inilah orang-orang Betawi, Banten, Bali, dan Cina, yang menurut catatan sejarah, tinggal dan beranak pinak di kawasan itu, saling membantu saat membangun masjid tersebut.
Masjid Angke Jakarta memang masuk sebagai situs cagar budaya sejarah. Sejak tahun 1990-an bangunan ini pun hanya didiamkan saja. Melihat hal ini, akhirnya komunitas Lingkar Warisan Kota Tua Jakarta atau Lingwa pun memutuskan untuk merestorasi Masjid Angke.
Alasannya sederhana, bangunan masjid ini masih memperlihatkan keasliannya, dan lagi hiasan di masjid ini juga berhasil memperlihatkan keragaman etnik.
Pengaruh budaya Jawa jelas terlihat dari ciri arsitekturnya, setidaknya ini terlihat dari atap tumpang dan bangunan bujur sangkar serta empat saka gurunya untuk menopang atapnya. Mirip seperti yang sering terlihat dari bangunan-bangunan masjid kuno di pedalaman Jawa.
Di sisi lain arsitektur masjid ini juga memperlihatkan pengaruh budaya Cina. Hal ini terlihat dari ujung-ujung atapnya yang sedikit melengkung ke atas, mirip bangunan rumah Cina kuno di berbagai kota di Indonesia.
Ada anggapan pula bahwa hiasan di ujung-ujung atap bangunan juga tidak terlepas dari pengaruh seni bangunan Bali yang disebut punggel. Anggapan ini tidak terlepas pula dari catatan sejarah keberadaan orang-orang Bali yang disebutkan tiba pada awal 1700an dan kemudian tinggal di kampung tidak jauh dari masjid tersebut.
Lebih jauh lagi, ternyata Masjid Angke Jakarta juga masih memiliki pengaruh Eropa atau kolonial Belanda. Ini bisa dilihat dari lubang lain di atas pintu yang pola, hiasan dan warnanya mirip dengan gedung Arsip Nasional yang berdiri di Jalan Gajahmada, Jakarta, yang dibangun orang-orang Belanda.
Pengaruh Arab bisa dilihat dari teralis jendela maupun teralis tangga di loteng itu gaya Moor atau kearab-araban.
Di halaman belakang Masjid Angke Jakarta ini terdapat makam, yang diyakini sebagai makam orang yang di masa hidupnya diyakini tidak terlepas dari sejarah pendirian masjid tersebut. Beberapa nama terlihat tertulis di nisan, seperti beberapa di antaranya Syeh Liong Tan, Tan Nio, Syarif Hamid Alkadrie, dan banyak lagi.
Masjid Angke Jakarta ini memang pantas jadi tempat ngabuburit, tentunya sambil belajar sejarah bagaimana nenek moyang kita dulu begitu menjungjung tinggi perbedaan yang ada. Belajar memaknai semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang meski berbeda-beda namun sejatinya adalah satu.