Menyatu dengan Alam di Daerah Terpencil Gentansari, Banjarnegara

Sebuah desa terpencil di Banjarnegara, Jawa Tengah memberi banyak pelajaran berharga tentang pentinya menyatu dengan alam. Pelajaran yang mulai terlupakan.

SHARE :

Ditulis Oleh: Umu Umaedah

Foto oleh Karl

Konon katanya, 1 kilometer dari pemukiman warga setelah melewati jalan setapak penuh dengan kebun-kebun liar, kemudian menyeberangi sungai, terdapat sebuah belik. Belik tersebut menjadi sasaran para bidadari-bidadari kahyangan yang turun untuk mandi, seperti dalam cerita legenda Jaka Tarub. Menurut sesepuh yang pernah melihatnya, bidadari tersebut memiliki kecantikan luar biasa. Badannya putih memancarkan cahaya. Beruntung jika bisa mengambil selendang dan menyembunyikannya, bidadari tersebut akan ikut dengan kita. Jika tidak, bisa-bisa orang tersebut beserta keluarganya akan mengalami sakit hingga 7 hari lamanya. Namun hanya orang pengambil selendang saja yang bisa melihatnya, orang lain tidak.

Suasana Berbeda Yang Jarang Ditemukan di Daerah Lain

Hamparan hijau selalu menawarkan cerita segar bagi penikmatnya. Bagi mereka, alam cukup menjadi tempat bermain dan tempatnya bergantung.

Gentansari, sebuah desa terpencil di wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah yang masih asing didengar. Sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Tidak semua yang terpencil itu terbelakang. Terbukti anak cucu mereka mampu bersaing di perguruan tinggi dan banyak meraih sukses di kota besar.

***

Kendaraan roda dua yang saya tumpangi melaju dengan pelan di antara tanjakan dan turunan. Saya tidak sendiri, ada 3 orang lagi bersama saya. Dua wanita dewasa beserta dua anak kecil yang membuat punggung saya cukup sakit akibat menahan beban. Mereka adalah bibi dan dua keponakan saya yang masih kecil.

Sebuah rumah kecil menjadi tujuan pemberhentian kami. Rumah terbuat dari papan yang mulai berlubang di sisi-sisinya.

Senyuman mampu memberikan kehangatan. Seperti secangkir teh yang diteguk pagi hari.

Senyum dan sapa dari mereka membuat saya berpikir:

Mereka nampak bahagia walaupun dalam kesederhanaan. Tertawa lepas dalam kebebasan. Semua terlihat apa adanya.’

Tetangga yang memang sudah tidak asing dengan kami, segera menghampiri dan ikut bercengkerama di ruang depan yang sekaligus berfungsi ganda sebagai ruang tv dan ruang tamu.

Besok lagi, ya Min, pagi-pagi buta kita berangkat,’ ucap tetangga rumah sambil membenarkan ikatan rambutnya. ‘Kamu ikut?‘ ajakan tersebut mampir juga pada saya.

Mau kemana?’ saya sibuk mengamati kucing bibi yang asyik bermain gulungan benang.

Mencari jamur, di ladang. Nanti sepulangnya, kita bisa memetik daun singkong untuk sayur,’ seletuknya.

Saya teringat petualangan sewaktu kecil dulu. Bahkan di daerah rumah saya yang masih terbilang desa tak ada masyarakat yang mau untuk mencari jamur sekarang.

Malu.

Tapi tidak dengan mereka. Dari anak kecil hingga orang dewasa, mereka beramai-ramai untuk memanen jamur di ladang. Itu bukan ladang mereka. Si empunya tidak keberatan berbagi jamur dan daun singkong yang tumbuh di ladangnya. Jamur yang mereka cari adalah jamur merang dan beberapa jamur kecil lainnya yang tumbuh musiman. Saat musim angin kencang, jamur tersebut biasa tumbuh liar di ladang.

Untuk ke ladang, mereka sendiri harus menyusuri jalan setapak, menyeberangi sungai, kemudian naik ke atas bukit kecil dan barulah mereka sampai pada hamparan ladang nan luas. Cukup jauh, saya sampai kehabisan nafas mencapai tempat ini. Hebatnya, para orang tua yang ikut untuk memanen ladang seperti tak bekeringat sama sekali! Dengan nafas yang masih teratur, mereka istirahat sejenak dan segera mencari jamur-jamur yang bisa dipanen.

Jamur-jamur yang tumbuh bebas biasa dimasak dengan cara diklonyom atau gongso, begitulah orang-orang desa Gentansari menyebutnya. Dioseng kemudian disiram air hingga berkuah. Sedangkan daun singkong hanya direbus untuk dijadikan lalapan. Bagi warga Gentansari, sayuran yang tidak pernah membuat bosan adalah daun singkong. Mereka bisa tambah berkali-kali saat makan. Nikmat dimakan dengan sambal ulek super pedas.

Soal rasa, jamur merang liar ini terasa lebih nikmat daripada jamur yang dibudidayakan karena sama sekali tak menggunakan bahan-bahan kimia.

Kami menyantap lahap gongso jamur, rebusan daun singkong, sambal kosek, dan nasi jagung -bukan nasi putih. Mereka memang lebih suka nasi jagung karena menurut mereka rasanya lebih nikmat. Nasi jagung memang kalah popular dibanding nasi-nasi putih kualitas tinggi lainnya. Namun, nasi jagung memiliki rasa khas yang sering dirindukan pecintanya. Teksturnya lembut, kepyur,  serta pulen. Nasi jagung bisa bertahan hingga 3 hari tanpa dipanaskan. Selain itu, nasi jagung tidak akan mengeras ketika dingin.

Sambal koseknya dibuat dari cabai yang ditanam di kebun sendiri samping rumah -pohonnya tumbuh subur, bahkan melebihi tinggi badan saya. Begitu pula dengan nasi jagung yang diambil sendiri dari ladang. Saat harga-harga sayur naik mereka tak terpengaruh, semua tersedia di alam.

Hidangan ini membuat saya seperti dibawa ke masa lalu.

Alam selalu meyediakan apa yang kita ingin asal kita mau merawatnya.

Di sini saya melihat sisi lain di tengah kehidupan era modern. Paralon-paralon air saling terhubung dan berderet di sepanjang jalan menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Tak ada sumur-sumur air di sini. Sedalam apa pun menggali, air tak pernah mau keluar, sehingga mereka mengandalkan aliran dari sumber mata air.

Lalu, kakus-kakus yang sudah lama menghilang di zaman sekarang, di sini masih bisa dilihat di empang-empang samping rumah. Serta belik-belik kecil untuk mandi bersama.

Semua perjalanan akan menghasilkan cerita. Bahkan cerita dari ilalang sekalipun.

activate javascript
SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU