Embun upas jadi fenomena unik tersendiri yang dimiliki oleh daerah dataran tinggi Dieng. Fenomena langka yang biasa terjadi selama Juli hingga Agustus disambut suka cita oleh para pelancong, dan bahkan warganet pun turut gempar menengok fenomena ini melalui linimasa mereka masing-masing.
Terang saja hal ini jadi sesuatu yang langka dan sekaligus menggemparkan, sebab keberadaan embun upas ini menjadikan Dieng menjadi seperti bersalju laiknya sensasi negeri empat musim.
Namun tahukah Anda, dibalik keindahan fenomena alam ini, terdapat pisau bermata dua disebaliknya. Fenomena ini rupanya sangatlah merugikan para petani, terutama petani kentang.
Kami menemui salah seorang petani kentang yang bekerja di desa Dieng Kulon. Sopiah dan Rozikin adalah sepasang suami isteri yang biasa bekerja sebagai petani dan sekaligus sebagai penyewa homestay di kawasan wisata Dieng.
“Ya habis semua (kentang), mbak. Nggak daunnya, jadi daunnya kering. Gagal panen semmua,” jawab Sopiah pada Sabtu (4/8/2018) ketika kami bertanya perihal fenomena embun es Dieng selama Juli hingga Agustus di tiap tahunnya.
Embun es Dieng oleh masyarakat lokal disebut Bun upas, atau embun beracun. Embun upas ini dikatakan beracun bukan lantaran dapat mematikan manusia atau hewan. Embun tersebut berbahaya bagi tanaman kentang dan sayuran petani Dieng.
Menurut keterangan Rozikin, diketahui bahwa hampir seluruh masyarakat Dieng mengandalkan hidupnya sebagai petani seperti kentang, wortel, serta tanaman sayur lainnya.
Masyarakat setempat kemudian mengantisipasi kegagalan panen ini dengan menyewakan homestay atau hunian sewa bagi para pelancong yang tengah berlibur di kawasan wisata Dieng.
“Jadi ya kami menyewakan homestay, paling enggak buat nambal kegagalan panen kami,” ungkap Sopiah.
Fenomena embun upas biasanya berlangsung setiap tahun selama Juli hingga Agustus, pada saat ini, bertepatan dengan gelaran tahunan Dieng Culture Festival, masyarakat kemudian menyewakan homestay sebagai penambal untuk tetap bertahan hidup.