Menurut data dari Badan Pusat Statistik Indonesia jumlah kunjungan wisman pada bulan Januari 2018 tmengalami penurunan sekitar 6.17% dibanding Januari 2017. Jika Januari 2017 lalu ada setidaknya 1,11 juta kunjungan, maka Januari 2018 ini jumlah wisatawan mancanegara hanya berkisar 1,04 juta kunjungan saja. Padahal, Kementerian Pariwisata Indonesia memiliki target 20 juta wisman yang harus dicapai pada tahun 2019.
Ada beberapa faktor penting untuk mencapai target 20 juta wisman tersebut. Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, tiap destinasi wisata harus memenuhi aspek 3A, yakni atraksi, aksesbilitas dan amenitas.
Dalam keterangan tertulis, Senin, (12/3), Deputi Pemasaran I Kementerian Pariwisata, I Gde Pitana meng-iyakan bahwa unsur 3A memang syarat mutlak.
“Betul tiap destinasi harus memenuhi 3A,” ujar Pitana.
Dalam strategi 3A, tiap destinasi harus memenuhi aspek 3A.Di Semarang misalnya yang sesaat lagi akan mengadaakan gelaran besar tahunan, Semarang Night Carnival (SNC) 2018, pada 5 Mei.
SNC 2018 merupakan penguat unsur atraksi dalam pengembangan pariwisata. Pariwisata Kota Semarang memang potensial untuk dikembangan. Kemudahan aksesnya tak perlu diragukan, Semarang merupakan gerbang utama di Jawa Tengah dengan Bandara Internasional Ahmad Yani-nya. Amenitasnya pun lengkap, mulai dari mulai homestay, losmen, guest house sampai hotel bintang 5 bertebaran di Kota Semarang.
Atau seperti Danau Toba yang sudah dicanangkan menjadi destinasi unggulan.
Dalam tulisan ‘CEO Message #42 Nomadic Tourism’ di situs resmi Kemenpar, Menpar Arief Yahya mencontohkan Danau Toba.
“Dari sisi atraksi, (Danau Toba -red) tidak dapat diragukan lagi dapat dikategorikan sebagai destinasi wisata kelas dunia, dengan gelar yang disandangnya sebagai danau vulkanik terbesar didunia atau sering disebut super volcano caldera. Dari sisi aksesibilitas, saya melihat progress-nya bagus antara lain dengan adanya Bandara Silangit yang telah ditetapkan sebagai bandara internasional. Namun, selalu tertinggal kalau kita bicara mengenai amenitas seperti hotel, resort, atau kafe,” tulis Arief.
Arief menambahkan, untuk mengembangkan amenitas memang harus menunggu aksesibilitas. Namun, setelah aksesibilitas seperti bandara dan jalan terbangun, masih butuh waktu 4-5 tahun untuk membangun hotel berbintang. Sementara target 20 juta wisman sudah di depan mata.
Nomadic Tourism, menurut Arief adalah solusi untuk mengatasi hal tersebut.
Dari sisi akomodasi, Arief melihat, nomadic accomodation bisa jadi solusi.
“Solusinya adalah homestay yang memang sudah kita canangkan sejak tahun lalu. Namun membangun homestay pun tidak bisa cepat, perlu waktu beberapa bulan. Karena itu solusi tercepatnya adalah dengan membangun amenitas (akomodasi) yang sifatnya bisa dipindah-pindah,” tulis Arief.
Bentuk amenitas ini bisa bermacam-macam, seperti karavan, hotel di atas mobil. Hotel karavan ini bisa berpindah harian atau mingguan, untuk mencari spot-spot terindah di suatu destinasi wisata.
“Di Danau Toba misalnya, dengan hotel karavan ini wisatawan bisa berpindah-pindah di spot-spot tercantik di sepanjang tepi danau mulai dari Parapat, Ambarita, hingga Bakara,” lanjut Arief.
Bentuk nomadic accommodation lain, menurut Arief, adalah glam camp (glamour camp), yait tempat camping ber fasilitas kelas bintang.
“Untuk merealisasikan nomadic tourism kita akan menjadikan kawasan wisata Danau Toba sebagai pilot project dan ditargetkan untuk ground breaking pada 2 April 2018. Manakala nomadic tourism di Danau Toba sudah berjalan, destinasi lain seperti Borobudur, Labuan Bajo, Wakatobi dan Raja Ampat, juga akan meminta pengembangan wisata yang serupa,” pungkas Arief.