Diskriminasi Pekerja Perempuan dalam Industri Pariwisata Indonesia

Perempuan yang berada di industri pariwisata harus bekerja dua kali lebih keras untuk melawan berbagai stigma negatif yang menimpanya.

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Jika dibandingkan, jumlah pekerja perempuan dalam industri pariwisata jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki. Data Global Report on Women in Tourism dari Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) yang dirilis pada 2019 lalu mencatat, jumlah pekerja perempuan di sektor industri pariwisata adalah 54 persen. Meskipun mayoritas, nyatanya para pekerja perempuan menerima upah 14,7 persen lebih rendah daripada laki-laki.

Perempuan yang berada di industri pariwisata harus bekerja dua kali lebih keras untuk melawan berbagai stigma negatif yang menimpanya. Misalnya anggapan bahwa perempuan hanya terbatas pada bidang domestik dan kesenjangan upah dengan laki-laki. Karena stigma negatif ini seringkali datang dari lingkungan keluarga, maka perlu adanya sebuah edukasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat lokal.

Berdasarkan isu hangat ini, Women in Tourism Indonesia & Conservation International Indonesia pada Sabtu (1/8/2020) lalu mengadakan diskusi bertajuk “Peran Perempuan dalam Pengembangan Pariwisata di Indonesia“. Bersama sejumlah perempuan luar biasa yang menjadi penggerak industri pariwisata di Indonesia. Ini merupakan seri pertama dari WTIDTalk yang mengurai peran perempuan dalam usaha dan organisasi pariwisata berbasis masyarakat lokal.

Redempta Bato, Ketua Yayasan Sumba Hospitality ,menyatakan bahwa saat ini telah banyak perempuan yang bekerja di bidang perhotelan. Namun peran mereka masih belum direkognisi karena stigma domestik terhadap perempuan masih begitu kuat.

“Banyak (masyarakat lokal) yang berkata kepada saya bahwa bekerja di hotel itu bukan pekerjaan perempuan. Bisa dilihat perempuan sangat sulit keluar dari ruang domestiknya. Ini karena perempuan sangat sulit keluar dari ruang domestiknya. Mereka tumbuh di lingkungan yang membentuk mereka seperti itu. Belum ada role model yang bisa mematahkan stigma tersebut.” ujar Redempta Bato.

Menurut Redempta, satu-satu jalan untuk keluar dari stigma ini adalah dengan pendidikan. Melalui yayasan yang ia bangun, Redempta berusaha memberikan pendidikan terkait hospitality kepada seluruh masyarakat Sumba, terutama perempuan. Selain ilmu tentang hospotality, di sini juga diberikan pemahaman tentang kesetaraan jender, toleransi, kepercayaan diri, dan kesehatan reproduksi.

Yayasan Sumba Hospitality kini mendidik 60 anak muda Sumba dengan rentang usia 17-23 tahun. Sebagian peserta didiknya adalah perempuan. Masa pendidikan berlangsung selama 11 bulan, kemudian harus mengikuti program magang di hotel-hotel ternama yang telah bekerjasama dengan pihak yayasan. Kedepannya, Redempta berharap usahanya ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

“Perempuan memiliki kedudukan yang sama (dengan laki-laki). Kita harus saling berbagi dan belajar untuk bertumbuh bersama dan bergerak dalam kesetaraan.” kata Redempta.

Pemberdayaan perempuan juga dilakukan di Sumbawa, tepatnya Labuhan Jambu. 700 warga lokal dilibatkan di bawah Badan Usaha Milik Desa Lembaga Keuangan Mikro (BUMDes LKM) Labuhan Jambu yang dipimpin Sanawiyah. Seluruh warga dilibatkan dalam pengembangan program wisata hiu paus, tidak terkecuali kaum perempuan. Mereka bekerjasama dengan BUMDes LKM untuk menyediakan homestay dan usaha makanan.

(regional.kompas.com)

Pentingnya Wisata Bekerlanjutan

Redempta menuturkan bahwa pemberdayaan perempuan perlu dibarengi dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan. Dalam hal ini masyarakat harus menjadi subyek utama dalam rancangan konsep pariwisata di suatu daerah. Pariwisata harus memberikan aspek manfaat kepada masyarakat, namun di sisi lain tidak boleh merusak lingkungan. Terdapat dua hal yang penting, yaitu standar global dan penjagaan kearifan lokal.

“Pariwisata berkelanjutan hanya mungkin terjadi jika warga lokal terlibat aktif sejak awal. Bukan sekadar pelengkap. Pariwisata berkelanjutan perlu persiapan.” katanya.

Rani Bustar, salah satu pendiri Kurabesi Explorer juga sepakat dengan hal itu. Pariwisata memberikan manfaat kepada masyarakat lokal merupakan suatu keharusan. Bersama masyarakat lokal, Rani berusaha menyediakan pengalaman yang tidak biasa bagi para pelancong.

Kapal pinisi yang kami operasikan berlayar di Indonesia timur. Kami selalu mengajak tamu singgah dan berinteraksi dengan masyarakat lokal di setiap tempat yang kami kunjungi. Itu agar para turis memiliki pengalaman dan mengenal daya tarik daerah itu.” kata Rani.

Ranny Tumondo, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Pramuwisata Indonesia (DPC HPI) di Raja Ampat, juga mengajak masyarakat untuk lebih percaya diri akan potensi alam dan budayanya di hadapan wisatawan. Tak hanya itu, masyarakat juga diajak untuk peduli lingkungan, salah satunya dengan program pengangkatan bintang laut berduri yang dapat merusak terumbu karang di bawah laut Raja Ampat.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU