Tradisi sedekah laut di Yogyakarta, tepatnya di pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul tiba-tiba dilarang dan diobrak-abrik oleh sejumlah pihak dengan merusak properti tradisi yang ada pada Jumat (12/10/2018) lalu.
Polisi sendiri mengamankan sembilan saksi terkait kasus perusakan properti ini. Semua pihak tentunya prihatin dengan perusakan tersebut sebab mencederai budaya dan kearifan lokal yang ada.
Bila kita menilik, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki beragam keberagaman kultur dan tradisi adat, baik dari seni pertunjukan hingga budaya seperti tradisi sedekah laut.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sedekah laut merupakan ritual budaya yang terlarang? Serta sejak kapan tradisi sedekah laut ini berkembang?
Tradisi sedekah laut di Yogyakarta atau upacara Labuhan tak memiliki sumber tertulis yang menerangkan sejak kapan tradisi ini bermuasal.
Dipercaya bahwa tradisi ini diteruskan oleh Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat mengacu pada kerajaan Mataram (Islam) sebelumnya. Sejak 16 Masehi, sebuah kerajaan Mataram sudah ada di tanah Jawa.
Berdasarkan laman www.kratonjogja.id, kerajaan Mataram awalnya pusat kerajaan berada di wilayah Yogyakarta, tepatnya di wilayah Kota Gede, saat ini. Namun, kemudian Belanda terus melakukan ekspansi sehingga pusat kerajaan Mataram kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta.
Sampai akhirnya muncullah Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, yang memecah Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Widyabudaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Rinta menceritakan, sebenarnya budaya yang dilakukan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, merupakan sarana ucapan rasa syukur, dan tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya.
Bahkan, masyarakat Jawa yang memeluk Islam, menyelipkan tradisi. Misalnya dalam perayaan agama Islam, masyarakat jawa menggelar sodakohan atau memberikan sedekah.
Menjadi melek literasi adalah sebuah keniscayaan yang mesti kita bangun sebagai masyarakat Indonesia masa kini. Hal ini berguna agar kita tak terjebak pada pemahaman sempit dan miskin esensi atas budaya yang mengakar diantara kita.
KRT Rinta Iswara mengungkapkan bahwa antara agama dan budaya sebenarnya bisa berjalan beriringan.
“Sebagai orang Jawa kita mestinya harus tahu budaya Jawa. Supaya tidak apriori terhadap budaya Jawa kita sendiri. Baik yang berupa seni apapun semi tari, seni suara, seni tradisi, macam-macam. Itu sebetulnya tradisi yang dilaksanakan di Jawa itu adalah menandakan orang Jawa adalah orang yang religius,” ungkapnya dilansir Kompas.
KRT Rinta menjelaskan, kebudayaan merupakan pilar bangsa. Keberagaman juga tetap harus senantiasa dihormati. Jika tidak menyetujui tidak mengikuti tidak apa-apa, tetapi tidak boleh merusak.
Asyik rasanya mengenal lebih dalam mengenai budaya yang sejatinya mengakar di dalam diri dan kehidupan bermasyarakat kita.
Beralasan malas mencari agaknya tak lagi bisa dipakai, sebab kini segala sumber valid telah tersedia, tinggal bagaimana kita memiliki tekad untuk mau belajar dan mengenal lebih dalam dan tak terjebak dalam pseudo-doktrin semata.
Berbagai sumber digital di dunia maya juga telah dilakukan oleh Keraton Yogyakarta, Anda yang tertarik ingin mengenal lebih dalam perihal kebudayaan Jawa, khususnya, bisa mengikuti beberapa media sosial keraton Yogyakarta seperti Twitter @kratonjogja, Instagram @kratonjogja, dan laman resminya, www.kratonjogja.id.