Suku Asmat, suku yang tinggal di Kabupaten Asmat Papua ini sangat menarik untuk ditelisik. Ketika membahas tentang suku ini, ukiran kayu tradisional dengan ornamen-ornamen perahu sekilas akan muncul di kepala.
Di tangan Suku Asmat, kayu-kayu pohon yang hampir tak bernilai berubah menjadi ukiran dengan nilai seni tinggi. Sentuhan tangan mereka hasilkan karya ukiran kayu yang dikenal hingga ke dunia internasional.
Jika di negara kita sendiri masih banyak orang yang memandang sebelah mata hasil ukiran suku Asmat, di San Fransisco ukiran suku ini dipamerkan dalam De Young Museum di Golden Gate Park. Tak hanya di San Fransisco, hasil ukiran suku inipun ditampilkan di Museum of Natural Art di New York.
Ukiran-ukiran kayu hasil karya Suku Asmat sanggup menarik perhatian dunia internasional karena motifnya yang beragam dengan tingkat kerumitan tinggi. Ornamen-ornamen ukiran menggambarkan wajah nenek moyang, perahu, binatang-binatang yang dekat dengan kehidupan masyarakat seperti kasuari, serta motif-motif antropomorfik.
Untuk membuat suatu karya kesenian, suku ini menggunakan alat-alat sederhana seperti kapak batu, gigi binatang, dan kulit siput. Namun, perkembangan zaman telah pengaruhi penggunaan alat-alat yang digunakan untuk memahat. Kini, suku Asmat telah mengenal kapak besi, pisau, dan pahat besi.
Keunikan suku Asmat tak hanya dilihat dari sisi seni ukiran kayunya saja, suku ini juga dikenal memiliki tradisi merias diri dengan sederhana. Mereka tak membutuhkan bedak, lipstik, atau pun make up dari brand-brand terkemuka. Cukup menggunakan tanah merah untuk hasilkan warna merah, kerang untuk ciptakan warna putih, dan hitam dari arang sebagai perias.
Ke semua bahan dasar untuk merias diri tersebut dihaluskan kemudian digunakan untuk menghias wajah. Cara menggunakannya pun mudah, hanya dengan mencampur ke semua bahan tersebut dengan sedikit air lalu mengaplikasikannya ke wajah.
Penggunaan bahan make up untuk merias diri tersebut tak bisa dilepaskan dari pola hidup masyarakat Asmat yang sangat menghargai alam. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah bagian dari alam. Bahkan, pohon yang tumbuh di sekitar dianggap sebagai gambaran diri. Batang pohon dianggap sebagai gambaran tangan, buah sebagai kepala, dan akar sebagai kaki. Tak mengherankan jika suku Asmat begitu menghormati alam sekitar.
Kehidupan masyarakat suku ini begitu menarik hingga mampu memikat salah seorang petualang asal Amerika Serikat. Dia adalah Michael Clark Rockfeller, seorang anak jutawan Presiden Direktur Chase Mahattan Bank, David Rockefeller. Michael Rockfeller dinyatakan hilang sekitar September 1961.
Salah seorang petualang yang sangat tertarik dengan kehidupan Suku Asmat adalah Michael Clark Rockefeller, anak dari jutawan Amerika dan juga Presiden Direktur Chase Manhattan Bank, David Rockefeller yang dinyatakan hilang pada sekitar September 1961.
Pada waktu itu, Michael Rockefeller kembali ke Asmat setelah sebelumnya melakukan ekspedisi bersama Harvard Peabody Expedition pada Maret 1961, dengan tujuan khusus membuat dokumentasi dan koleksi untuk Museum Primitif Art New York. Sekitar pertengahan September, dia melintasi muara Sungai Betsy yang terletak dekat dengan perkampungan Otsyanep yang terkenal dengan keganasan penghuninya. Dalam perjalanan inilah, Michael Rockefeller lenyap secara misterius. Melansir dari Dailymail.co.uk, Michael Rockefeller dinyatakan meninggal dan dibunuh oleh suku kanibal di pantai Papua New Guinea.