Proyek transportasi massal light rail transit (LRT) atau kereta api ringan di Indonesia kian marak diperbincangkan dan dianggarkan. Setelah LRT Palembang dan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dibangun dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kini banyak kota mengamini dan mengikuti dua megaproyek terdahulunya.
Entah memang kebutuhan suatu kota atau semata mengejar prestise saja agar dijuluki sebagai kote modern. Yang jelas, pembangunan moda transportasi ini menyedot anggaran yang tak sedikit.
Maka baik untuk investasi maupun operasional, sebaiknya usulan beberapa kota untuk membangun LRT itu dikaji betul urgensi dan implikasi fiskalnya.
Belajar dari pembangunan LRT Jabodebek dan Sumsel yang keduanya menguras APBN cukup besar, baik untuk pembangunan fisik dan pengadaan sarana maupun operasionalnya, maka sebaiknya Direktorat Jendra Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan, selaku regulator, perlu berhati-hati betul memberikan izin pembangunan LRT baru kepada kota-kota yang mengajukan usulan pembangunan LRT, seperti Bandung, DIY, Makasar, Medan, Papua, Semarang, Tangerang Selatan, dan lainnya; termasuk yang diajukan oleh swasta.
Sejatinya, Light Rail Transit (LRT) dan monorail merupakan moda transportasi umum yang sudah ditinggalkan oleh negara-negara maju karena dinilai mahal biaya investasi dan operasionalnya, serta kapasitas angkut yang terbatas.
Banyak kota di dunia yang memilih BRT (Bus Rapid Transit) yang dinilai lebih murah investasi dan operasional dengan kapasitas angkut bisa separuh dari LRT.
Hal tersebut salah satunya dilakukan oleh Belanda. Mereka lebih memilih trem yang sejajar dengan jalan raya, sehingga bisa digunakan untuk trem maupun mobil.
Bila alasan pembangunan dilakukan untuk kebutuhan memiliki moda angkutan umum massal, maka hal tersebut dapat dikatakan klise.
Sebab, kalau kebutuhannya adalah angkutan umum massal, maka BRT adalah solusi yang paling tepat: murah, cepat, efisien, dan memiliki kapasitas hampir sama dengan LRT.