Meski Gunung Tak Seperti Dulu Lagi, Kami Tetap Akan Kembali

Mendaki gunung itu seperti mencintai pasangan. Tak perlu alasan definitif untuk menjelaskan kenapa menggilai pendakian.

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

– Meski gunung tak seperti dulu lagi, pada suatu masa nanti, kami pasti kembali- 

Tak perlu alasan untuk ‘cinta’. Sumber foto

Mendaki gunung itu seperti mencintai pasangan. Tak perlu alasan definitif untuk menjelaskan kenapa menggilai pendakian. Seberapa pun beratnya medan, setinggi apapun gunung itu, tak akan bisa meluruhkan nyali untuk mendekapnya. Pun, meski tak memiliki pemandangan yang indah seperti yang dibanggakan orang-orang, asalkan itu gunung, pasti akan kami daki. 

Baca juga: Barang yang perlu disiasati saat naik gunung 

Kami mencintai gunung dengan sederhana

Kalau kata Sapardi Djoko Damono, cinta kami pada gunung sesederhana kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Mendaki dengan diam, tak perlu disombongkan, atau dipamerkan. Cukuplah, gunung-gunung merasakan, kami mendaki dengan hati, bukan dengan ambisi. 

Lelah menapaki jalanan terjal di setiap jalur pendakian bukan hal yang harus dikompromikan. Payah dan keringat kami hanyalah secuil konsekuensi karena berani mencintai gunung. Masih ada bau pepohonan yang basah karena hujan, embun pagi yang menyegarkan, dan kabut tipis yang turun kala pagi menjelang yang membuat kami bahagia dan enggan berpaling. 

Tak masalah hanya sedikit gunung yang pernah kami daki atau pun sedikit puncak yang sudah kami rengkuh. Kami bahagia, dengan apa yang sudah kami usahakan. Tak mau memaksa jika akhirnya hanya menyakiti diri. Karena beginilah cara kami mencintai gunung dengan sederhana. 

Berhenti mendaki bukan berarti tak cinta lagi

Namun, seberapa pun cintanya kami pada gunung, ada kala di mana kami berhenti mendaki. Bukan sudah tak cinta lagi, hanya rehat sejenak, memberikan waktu pada para gunung menikmati dirinya sendiri. 

Kami tak ingin egois dengan terus-terusan mencumbuinya karena kesenangan pribadi. Gunung dan semua penghuni yang berada di dalamnya punya hak mutlak sebagai bagian dari semesta. Mereka bebas tumbuh seperti manusia. Tanpa, gangguan kaki dan tangan-tangan manusia seperti kami. Biarkan rumput dan pepohonan tumbuh subur berkembang. Biarkan sampah-sampah yang tersisa sedikit berkurang. 

Sejujurnya, kami sedih bertemu dengan orang-orang munafik di gunung. Mereka bilang mencintai gunung. Tapi, dengan santainya mereka berjalan meninggalkan tisu basah tanpa rasa bersalah. Mereka bilang cinta Indonesia dan gunung-gunungnya, tapi masih ada saja orang yang naik gunung tanpa peralatan safety yang hanya merepotkan negara. Mereka bilang cinta gunung tapi membuktikannya dengan memetik edelweis dan memaerkannya di sosial media. 

Baca juga: hal-hal yang permudah pendakian di zaman sekarang

Karena pada akhirnya, gunung adalah candu yang bisa membawamu kembali sewaktu-waktu

Cinta kami pada gunung murni. Bukan buatan atau karbitan yang sesaat hilang, menguap bersamaan dengan dinamika tren kekinian. Esok, bulan depan, tahun yang akan datang, atau entah kapan lagi, kami akan mendaki gunung sebagai cinta pertama kami.

Sebagai pengobat rindu gunung, setidaknya camping ceria di area perkemahan bisa jadi obat sementara. Mendirikan tenda, memasak makanan favorit saat naik gunung. Bermalam di antara dinginnya malam saat diselimuti kabut, jadi pilihan kegiatan untuk mengobati rindu kami pada gunung yang dulu. 

Kalau pun tak ada waktu mendirikan tenda dan terlalu sibuk dengan kegiatan yang ada, minum secangkir kopi dengan teman seperjuangan saat pendakian bisa sedikit membawa kembali kenangan saat mendaki gunung lalu. Sambil menunggu, kapan gunung tempat bermain kami kembali seperti dulu. 

Karena sesungguhnya, gunung adalah candu bagi setiap orang yang sudah pernah mencicipi kenikmatannya. Tahu cara kerja candu? Awalnya, orang menggunakannya sebagai obat penghilang atau peringan keluhan rasa sakit. Tapi, pemakaian yang tidak terkendali membuat orang yang menggunakannya terjerat untuk memakainya lagi dan lagi. 

Sama saja seperti gunung, pertama kali jatuh cinta pada gunung, banyak orang yang akan kembali dan mendaki gunung lagi. Kami tak keberatan jika harus disebut sebagai seorang masokis. Kenyataanya, kami bahagia “menyiksa” tubuh dengan berjalan puluhan kilometer lewati tanjakkan terjal. Kami rela menaruhkan jiwa demi mendapatkan kebahagiaan pendakian yang hakiki.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU