Melihat Multikulturalisme Semarang lewat Berbagai Gedung di Kota Lama

Mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Semarang menjadi rumah bagi ragam akulturasi suku dan bangsa yang bisa dilihat di Kota Lama.

SHARE :

Ditulis Oleh: Astrid S

Indonesia terkenal dengan keragaman dalam persatuan seperti apa yang tertuang pada semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Masyarakat dari berbagai latar belakang terus hidup rukun demi menciptakan damai bagi sesama.

Kota Lama yang dikenal sebagai peninggalan Belanda sebenarnya juga menyimpan berbagai bukti akulturasi berbagai suku dan bangsa. Kali ini Phinemo akan mengajak Anda menyusuri multikulturalisme di kota Semarang yang selalu menjadi kebanggaan masyarakatnya.

Baca Juga: Layakkah Kota Lama Semarang Terdaftar Sebagai UNESCO World Heritage 2020?

Gereja Blenduk

Gereja Blenduk, cagar budaya ikon Kota Lama. (Astrid SF/Phinemo)

Ikon dari kota Semarang ini tak boleh dilewatkan untuk dikunjungi. Terletak di pusat Kota Lama, Gereja Blenduk memiliki nama resmi Gereja GPIB Immanuel. Didirikan sejak tahun 1753, Gereja Blenduk merupakan gereja Kristen tertua di Jawa Tengah. Penanamaan dengan menyebut “Blenduk” muncul tak tanpa sebab. Bentuk atap yang seperti kubah membuat orang menyebut gereja ini dengan nama “Blenduk” atau “bundar” dalam bahasa Jawa.

“Karena bangunan-bangunan gereja, khususnya yang ada di Eropa ,di abad 17 dan 18 itu memang bangunannya dia mempunyai kubah seperti ini (kubah Gereja Blenduk-red). Jadi mereka (pendiri Gereja Blenduk-red) mengadopsi atau mencontoh ya bangunan gereja-gereja di Eropa, terus dibangun di sini,” ujar Bapak Setyo, penjaga Gereja Blenduk.

Walaupun sudah tidak berfungsi, orgel pipa di Gereja Blenduk masih menarik untuk dilihat. (Astrid SF/Phinemo)

Salah satu keunikan dari Gereja Blenduk selain interiornya yang bergaya Eropa ialah orgel pipa yang tergantung di sisi kanan gereja. Alat musik yang mirip organ ini dulunya digunakan sebagai pengiring ibadah umat Kristiani yang beribadah di sini. Walaupun sudah tidak beroperasi lagi semenjak tahun 1980-an, orgel ini masih mempunyai daya tarik tersendiri bagi para pelancong yang datang.

Masjid Layur

Daerah sekitar Kota Lama memiliki masjid yang disebut-sebut sebagai masjid tertua di Semarang. Masjid ini bernama Masjid Layur atau juga biasa dikenal dengan nama Masjid Menara Kampung Melayu. Menurut sejarah, sejak tahun 1740-an, pendatang dari Yaman, Pakistan dan India datang ke Semarang. Mereka datang guna untuk berdagang dan pada akhirnya bermukim di utara Semarang. Maka dari itu, tak heran jika akhirnya kebudayaan Arab dan Melayu menjadi corak khas pada masjid ini.

Masjid Layur menjadi saksi adanya masyarakat Arab, Pakistan, dan India yang pernah singgah ke Semarang (Astrid SF/Phinemo)

Salah satu hal yang menarik perhatian ketika Phinemo bertandang ke masjid ini adalah bentuk menara yang terlihat raksasa dan lebih besar dibanding gedung masjid sendiri. Ternyata menara yang digunakan untuk mengingatkan ibadah selama 5 waktu itu awalnya adalah sebuah mercusuar.

Hingga abad ke-18, menara tersebut merupakan tempat untuk memantau kapal-kapal dagang yang berlabuh di pelabuhan Semarang. Namun, setelah pelabuhan baru diresmikan pada abad ke-18, mercusuar lama tidak dioperasikan lagi.

Sekitar tahun 1800-an, para saudagar dari Yaman mengubah fungsi mercusuar ini menjadi menara untuk melengkapi masjid yang akan mereka dirikan di Kampung Layur. Masjid dengan menara besar ini akhirnya menjadi simbol kejayaan Islam di kota lunpia hingga kini.

Menara Masjid Layur yang awalnya merupakan sebuah menara pemantau pada zaman Belanda. (Astrid SF/Phinemo)

Tak hanya dipengaruhi oleh budaya Melayu dan Arab, unsur Jawa juga bisa ditemukan dalam arsitektur masjid ini. Tidak seperti masjid lain yang memiliki atap berbentuk kubah, Masjid Layur memiliki atap tumpang susun yang terdiri dari tiga lapis. Walaupun sudah banyak perubahan yang dilakukan kepada masjid ini karena banjir rob, akulturasi dari budaya Arab, Melayu, dan Jawa masih dapat kita temui jika datang ke sini.

Baca Juga: Walking Tour, Mengenal Bangunan Bersejarah di Kota Lama Semarang hanya dengan Dua Jam

Gereja St. Yusuf Gedangan

Tak hanya Gereja Blenduk, orang Belanda juga mewariskan Gereja Santo Yusuf Gedangan di timur Kota Lama. Terletak Jalan Ronggowarsito, Rejomulyo, gereja ini merupakan gereja Katolik pertama di kota lunpia.

Dari arah Kota Lama, Anda bisa mengenali gereja ini hanya dari gedungnya yang berwarna merah dan arsitekturnya yang cukup kental dengan unsur Eropa. Walaupun masih belum menjadi destinasi wisata utama ketika berkunjung ke Semarang, Gereja Gedangan bisa menjadi pilihan untuk melihat indahnya arsitektur Eropa di sekitar Kota Lama.

Arsitektur Gereja Gedangan terinspirasi dari gereja-gereja yang ada di Eropa. (Astrid SF/Phinemo)

Walaupun Gereja Randusari terletak di Jalan Pandanaran akhirnya ditetapkan sebagai Katedral Semarang, Gereja Gedangan tetap memegang peran penting bagi Semarang. Mgr. Albertus Soegijapranata, Uskup Agung Pribumi pertama di Indonesia, tetap tinggal di sini walaupun sudah ditasbihkan menjadi Uskup Agung hingga tahun 1961.

Di bawah pimpinan Mgr. Sogeijapranata, Gereja Gedangan tidak hanya menjadi pusat perekonomian masyarakat, tetapi juga salah satu pusat untuk melawan penjajahan Belanda di masa itu.

Ketika masuk ke dalam gereja ini, Phinemo masih bisa merasakan interior dari 200 tahun silam yang masih terawat dengan baik. Bahkan Anda juga bisa menemukan orgel pipa. Ternyata hanya Gereja Gedangan, Gereja Blenduk, dan Katedral Jakarta yang memiliki orgel di Indonesia.

Walaupun sudah tidak digunakan kembali sejak tahun 2000-an, orgel di tempat ini masih menjadi daya tarik karena menggambarkan kemegahan gereja berusia 210 tahun ini.

Orgel pipa (atas) hanya bisa ditemukan di Gereja Gedangan, selain di Gereja Blenduk dan Katedral Jakarta. (Paundria D/Phinemo)

Sebelum pulang, Anda harus melihat gedung Kesusteran St. Fransiskus yang terletak persis di depan gereja. Susteran ini juga dibangun pada tahun yang sama dengan berdirinya gereja. Di sisi kanan, Anda bisa melihat menara kapel kesusteran yang bentuknya lancip dan dipengaruhi oleh unsur arsitektur gotik seperti di gereja-gereja Eropa.

Klenteng Tay Kak Sie

Bukan Sam Po Kong, Tay Kak Sie merupakan klenteng tertua di Semarang. (Astrid SF/Phinemo)

Berjalan ke arah selatan Kota Lama, Anda akan menemukan Chinatown kebanggan kota Semarang. Ditandai dengan gapura besar dengan lampion merah, Anda sudah masuk ke daerah Pecinan Semarang. Selain mencoba Lunpia Gang Lombok yang legendaris, Anda wajib juga datang ke Klenteng Tay Kak Sie yang terletak di samping persis warung Lunpia Gang Lombok.

Klenteng Tay Kak Sie telah berdiri sejak tahun 1746 di daerah Pecinan terbesar di Jawa Tengah. Awalnya, klenteng ini digunakan untuk memuja Yang Mulai Dewi Welas Asih Koan Sie Im Po Sat.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, klenteng ini tidak hanya menjadi tempat beribadat umat Kong Hu Chu. Umat Taoisme hingga Buddha pun juga beribadah di klenteng ini. Maka dari itu, tak heran jika klenteng ini sarat dengan ornamen dari agama Kong Hu Chu, Taoisme, dan Buddha.

Baca Juga: Potret Toleransi dalam Keberagaman Agama di Semarang

Klenteng Tay Kak Sie identik dengan ornamen bercorak Tionghoa. (Astrid Fr/Phinemo)

Walaupun banyak mengambil unsur Tiongkok dalam budaya agamanya, Kong Hu Chu tidak hanya dianut oleh masyarakat keturunan Tionghoa saja. Orang-orang dari suku lainnya pun dapat menjadi penganut Kong Hu Chu sehingga semakin kaya multikultural di daerah Pecinan Semarang ini. Bahkan, tak sedikit masyarakat sekitar yang datang ke klenteng ini ketika diselenggarakannya acara-acara besar umat Kong Hu Chu untuk turut memeriahkan.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU