Layakkah Kota Lama Semarang Terdaftar Sebagai UNESCO World Heritage 2020?

Kota Lama Semarang dianggap mencerminkan campuran unik antara arsitektur, budaya dan pemandangan kota tanpa paralel di mana pun di Asia Tenggara. 

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Kota Lama Semarang sedang punya “gawe”. Ekskavator, lalu lalang truk pengangkut material bangunan, serta penutupan jalan di beberapa titik menjadi pemandangan yang akan Anda jumpai di kota peninggalan kolonial Belanda ini.

Perbaikan dan penataan kota tua gencar dilakukan supaya Kota Lama Semarang diakui sebagai warisan budaya UNESCO. Untuk diketahui, saat ini Kota Lama ‘baru’ masuk dalam daftar tentatif UNESCO World Heritage.

Kota Lama, pusat kosmopolitan pada zamannya

Pemandangan Kota Lama dari atas gedung Jiwasraya. Foto/Wike Sulistiarmi/phinemo

Didirikan pada abad ke-17, Kota Lama Semarang adalah kota kolonial terbaik dari fase sejarah terpenting peradaban manusia di Asia Tenggara baik dalam ekonomi, politik dan sosial.

Baca juga: Semarang Creative Gallery, bagian dari upaya Pemkot Semarang percantik Kota Lama

Kala itu, kawasan Kota Lama menjadi pusat transaksi perdagangan dan perekonomian. Kota Lama Semarang menjadi kosmopolitan pada zamannya.

Kesuksesan tersebut tak lepas dari strategi pembangunan infrastruktur untuk mendorong kemajuan perekonomian dan perdagangan di Semarang.

Sungai Semarang dilebarkan, pelabuhan pun dibangun. Hebatnya lagi, teknologi kereta api uap pertama di Asia Tenggara didirikan di Kota Lama.

Kawasan ini pun menjadi pusat transaksi komersial serta kegiatan bongkar muat barang dari pelabuhan.

Pada waktu yang hampir bersamaan, program investasi dari perusahaan swasta asing pun dilakukan. Dampaknya, kawasan Kota Lama Semarang pun dipadati gedung perkantoran, bank, konsulat asing, dan toko.

Lalu, pada abad 17,18,dan 19, Semarang menjadi bagian dari jaringan kota pelabuhan perdagangan internasional Asia. Seperti kota pelabuhan internasional lainnya di dunia yaitu Penang, Vigan, dan Batavia (Jakarta), Semarang menggabungkan perpaduan gaya arsitektur Asia dan Eropa. Namun, Semarang menunjukkan dengan jelas adanya hubungan yang kuat dengan pengembangan teknologi lokomotif uap paling awal di Asia Tenggara sebagai sarana transportasi untuk mendukung perdagangan.

Wajah Kota Lama Semarang kini

Lebih dari satu abad berlalu, Kota Lama tak semeriah dulu. Sebagian bangunan-bangunan tua bekas pertokoan, bank, perkantoran dibiarkan terbengkalai. Sebagian lain masih berfungsi sebagaimana mestinya.

Kota tua yang pernah berjaya ini pun nampak lusuh. Saat malam tiba, tak banyak aktivitas di sini. Sepi bak kota mati.

Lalu, ketika musim hujan datang, jalanan digenangi air keruh cenderung hijau kehitaman. Cat-cat rumah atau bangunan yang tak terpakai pun tampak dibiarkan terkelupas tak dicat ulang.

Kondisi memprihatinkan Kota Lama ini pun menjadi bahan cibiran turis Belanda yange berkunjung ke sana pada tahun 2014.

Turis asal Belanda tersebut bernama Dan Gopeel. Ia mengunggah video Kota Lama. Kala itu, ia nampak menunjukkan setiap sisi Kota Lama yang kumuh dan jorok.

Dalam video berdurasi 9 menit 21 detik sang bule ini berkeliling ke berbagai sudut Kota Lama. Ia banyak mengeluhkan penampilan Kota Lama yang terkesan kumuh.

Baca juga: Bule Belanda Dan Gopeel beri komentar pedas pada Kota Lama

Foto dari akun instagram @hendrarprihadi

Selang beberapa tahun, pemkot Semarang nampaknya telah menyadari potensi besar Kota Lama. Perawatan Dan perbaikan pun terus dilakukan.

Hasilnya, wajah Kota Lama sekarang jauh lebih baik bila dibandingkan beberapa tahun lalu.

Pada 25 Agustus 2018, Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi mengunggah perbedaan Kota Lama dulu dan sekarang. Dalam caption foto instagramnya ia menuliskan,

hendrarprihadi#KotaLama Semarang ditargetkan selesai pembangunannya akhir tahun ini — setelah pembangunan selesai, dilanjutkan penertiban area untuk menjadikan Kota Lama sebagai kawasan wisata yang tertib #SemarangSekarang ..

Restoran Pring Sewu yang berdiri di atas aset Raja Gula terkaya di Asia Tenggara, Oei Tiong Ham. Foto dari akun instagram @dee.dee.diana

Hasil kerja Pemkot Semarang bersama dengan Kementerian PUPR memang harus diacungi jempol. Gedung-gedung terbengkalai dan berpenghuni telah direnovasi dan dialihfungsikan. Salah satu gedung milik raja gula terkaya di Asia Tenggara pada zamannya, Oei Tiong Ham, kini telah diubah menjadi restoran. Sebelum sempat terbakar.

Lalu, gedung-gedung ikonik Kota Lama seperti Gedung Marba dan Jiwasraya pun dicat ulang dengan warna yang tak jauh beda. Tampak lebih bersih dan rapi. Wisatawan yang datang ke sana pun memanfaatkannya sebagai spot foto instagenik.

Revitalisasi Kota Lama tua pro dan kontra

Yang tak kalah menarik adalah Gedung eks Van Dorp. Gedung ini dulunya adalah percetakan di kawasan Kota Lama. Di tempat tersebut tidak hanya mencetak buku-buku Belanda, tetapi juga mencetak buku-buku Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, bahkan itu percetakan pernah menerbitkan surat kabar Semarang Nieuws en Advertentieblad yang merupakan cikal bakal Koran De Locomotief.

Salah satu sisi Gedung DMZ Museum, bekas gedung percetakan

Kini, Gedung eks Van Dorp telah dialihfungsikan menjadi museum 3D yang bernama Dream Museum Zone (DMZ). Wisatawan berbagai usia ramai berbondong-bondong ke museum ini untuk berswafoto dengan latar warna-warni 3 dimensi. Mengunggah fotonya ke instagram tentu bisa mendatangkan ratusan like. Strategi yang menarik untuk menggaet ribuan wisatawan.

Sayangnya, tak semua orang setuju dengan pengecatan gedung eks Van Dorp menjadi warna-warni. Bila gedung warna-warni menarik minat wisatawan dan bisa mendatangkan banyak rupiah, ternyata tidak bila dilihat dari nilai sejarah dan budaya.

Baca juga: Lift pertama di Indonesia ini ada di Gedung Jiwasraya, Kota Lama Semarang

Mengutip dari Asatu.id, seorang arsitek senior di Semarang, Satrio Nugroho mengungkapkan keprihatinannya melihat gedung bersejarah yang dicat warna-warni. Dari sudut arsitektur, mengecat warna-warni bangunan bersejarah akan menghilangkan kesatuannya sebagai bangunan kota tua.

Sisi lain Gedung DMZ Kota Lama yang dicat penuh warna.

Sebenarnya, tidak ada aturan warna tertentu untuk mengecat gedung atau bangunan di kawasan cagar budaya Kota Lama. Tidak harus putih. Sebagai contoh, kota tua Malaka di Malaysia. Di sana, gedung dan bangunan didominasi dengan cat warna merah. Namun, bukan asal merah, merah mengandung nilai sejarah.

Begitupun dengan Kota Lama. Tak harus semua dicat putih atau krem. Menyesuaikan warna dengan keaslian bangunan akan nampak lebih baik. Baik dalam arti tetap menjaga originalitas bangunan.

Mengutip dari laman UNESCO di whc.unesco.org, salah satu nilai penting mengapa Kota Lama menjadi daftar tentatif warisan budaya UNESCO karena tata ruang kota yang tetap tidak berubah, kekayaan arsitekturnya, dan antarmuka yang kritis dengan teknologi, Kota Lama Semarang menawarkan laboratorium pengembangan perkotaan bagi dunia dan karenanya patut untuk dipertahankan.

Lantas apakah menjadi masalah krusial bila terdapat bangunan di Kota Lama Semarang dicat warna-warni seperti DMZ Museum? Yang perlu dipahami, Kota Lama tengah dipersiapkan menjadi bagian dari UNESCO World Heritage 2020, bukan Kota Pelangi.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU