Mendengar kata ‘mumi’ mungkin yang terlintas dibenak kita adalah manusia yang dibalut dengan kain di seluruh tubuhnya. Jangan salah, di Indonesia tradisi mumifikasi ini juga telah ada ribuan tahun yang lalu. Adalah satu di antara suku di Papua yang masih melestarikan adat peninggalan nenek moyang, Suku Anga julukannya. Beberapa peneliti juga menyebut suku ini sebagai suku Aseki.
Suku Anga tinggal di distrik Aseki, di Papua Nugini. Mereka tinggal di pegunungan tinggi yang jauh dari peradaban modern. Mereka juga merupakan suku pedalaman yang mewarisi satu kebudayaan yang cukup menarik, pengawetan mayat. Seperti apa prosesnya? Simak ulasan berikut.
Berbeda dengan proses mumifikasi yang ada di Mesir yang mengeluarkan organ tubuh jenazah lalu membalurinya dengan garam dan rempah rempah, mumi Suku Anga ini diasapkan.
Jasad orang yang sudah meninggal pertama-tama dibaluri dengan menggunakan tanah liat putih yang dioleskan pada wajah mereka sebagai tanda duka. Selama kurang lebih tiga bulan, jasad ini didudukkan di atas tungku pembakaran untuk mengeringkan cairan yang ada di tubuh. Selama prosesi ini, sanak yang melakukan prosesi ini tak boleh meninggalkan rumah sakral.
Selama proses mumifikasi, terdapat beberapa pantangan dan adat setempat yang perlu dilakukan. Masyarakat maupun sanak saudara yang melakukan prosesi mumifikasi tak boleh meminum air apapun kecuali jus tebu.
Orang-orang tersebut juga tak diizinkan untuk mencuci diri mereka selama proses mumifikasi yang memakan waktu selama tiga bulan. Selain itu, hal unik lainnya yakni masyarakat tak boleh memakan apapun selain yang dimasak dengan api yang tengah mengasapi jenazah.
Adapun tujuan mumifikasi dalam budaya masyarakat suku Anga adalah untuk mengejar kehidupan yang kekal, atau setidaknya merasakan kehadiran secara fisik bagi mereka yang telah meninggal. Cara mengawetkan tubuh seseorang dipandang sebagai upaya untuk menjaga kenangan, dibanding penguburan dalam tanah. Dalam tradisi mereka, tahap akhir dari proses mumifikasi adalah membawa mumi dan menempatkannya di tebing batu yang menghadap ke desa.
Catatan pertama yang dibuat manusia atas pengasapan jenazah ini dilakukan oleh seorang berkulit putih asal Inggris, Charles Higginson pada 1907. Beragam kontradiksi ditulis oleh Higginson. Menurut catatan yang ditulisnya, masyarakat Aseki merupakan salah satu yang kanibal di Papua.
Higginson menulis bahwa masyarakat Aseki adalah salah satu yang ganas dan haus darah. Sementara itu, dilansir oleh BBC Travel, Nimas, seorang guru di Papua menyatakan bahwa praktek kanibalisme tak pernah terjadi di salah satu wilayah di Papua ini.
Hampir dalam setiap catatan yang ditulis tentang mumifikasi di tanah Aseki menyatakan bahwa orang yang melakukan mumifikasi menggunakan cairan yang ada di tubuh mayat sebagai minyak goreng. Hal ini juga sempat dituliskan oleh Higginson dalam jurnalnya. Namun, seorang jurnalis dari BBC Travel, Ian Lloyd Neubauer mengonfirmasi langung kepada penduduk lokal setempat yang juga menjadi narasumbernya, Dickson mengatakan bahwa hal tersebut hanyalah kebohongan. Peggunaan cairan tubuh mayat sebagai minyak goreng tak dapat dibuktikan.
Praktik pembuatan mumi suku Anga ini nyatanya tak berlangsung lama. Semenjak kedatangan misionaris agama pada abad ke 20, tepatnya pada 1949. Namun, pada 2015 lalu, seorang jurnalis dari National Geographic, Ulla Lohmann berkesempatan untuk melihat secara langsung prosesi ini.
Ulla Lohmann mengamati seluruh rangkaian selama satu minggu. Dia menyaksikan tubuh Gemtasu (pemimpin adat) membengkak, menghitam, dan akhirnya mengeras. Tujuh orang yang melakukan ritual akan mengoleskan cairan dari tubuh Gemtasu pada diri mereka sebagai salah satu tindakan untuk memilihara semangatnya.