Kenapa Solo Tidak Menjadi Daerah Istimewa? Ternyata Ini Penyebabnya

Tak seperti Yogyakarta, Surakarta atau Solo justru hanya menjadi kota madya biasa. Kenapa Solo tidak menjadi Daerah Istimewa?

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Tak seperti Yogyakarta yang mendapatkan status sebagai Daerah Istimewa, Surakarta atau Solo justru hanya menjadi kota madya biasa yang dipimpin oleh seorang walikota. Padahal keduanya hingga sekarang masih memiliki keraton serta seorang sultan yang memimpin. Pertanyaannya, kenapa Solo tidak menjadi Daerah Istimewa? Simak penjelasannya berikut ini.

Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam karena Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perpecahan dipicu oleh perebutan kekuasaan antara trah Mangkubumi dan Pakubuwono yang semakin diperparah politik adu domba VOC. Pangeran Mangkubumi lalu terpilih menjadi sultan di takhta Kesultanan Yogyakarta.

Baca juga: Gaji Sultan Jogja dan Fakta Unik Lain di Keraton Yogyakarta

Kesultanan Yogyakarta bergabung dengan Indonesia setelah kemerdekaan. Gelar Daerah Istimewa diperoleh tahun 1950. Tidak ada pemilhan umum di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sultan di Kesultanan Yogyakarta terpilih menjadi gubernur. Posisi wakil gubernur ditempati oleh Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman, pecahan Kesultanan Yogyakarta pada 1813.

Kenapa Solo Tidak Menjadi Daerah Istimewa?

Tidak banyak yang tahu, dahulu Surakarta juga pernah menyandang gelar sebagai Daerah Istimewa di awal masa kemerdekaan. Sultan Paku Buwono XII pada tanggal 1 September 1945 mengeluarkan maklumat, memastikan bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat bersifat kerajaan sehingga harus dianggap sebagai Daerah Istimewa. Kekuasaan atas Surakarta milik sultan.

Sayangnya, maklumat ini tidak berarti apa-apa. Paku Buwono XII dilantik menjadi sultan pada 1944 dalam kondisi yang tidak berpengalaman, tanpa minat pada berbagai aktivitas politik. Bahkan menurut Ben Anderson di bukunya berjudul Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, sultan tak tertarik apapun kecuali kesenangan pribadinya.

Baca juga: Kerajaan yang Masih Eksis Hingga Kini, Sudah Tahu?

Paku Buwono XII ketika masih belum dewasa, Ibu dan Patih Sosrodiningrat menguasasinya. Ditambah lagi dengan pengaruh dari Kasunanan Surakarta sudah lama hilang karena permasalahan keuangan. Hal ini membuat Paku Buwono XII berbeda dengan raja-raja pendahulunya. Ia juga tidak aktf ikut ambil peran di masa-masa genting menjelang kemerdekaan Indonesia.

Agustus 1945 sampai Juli 1946, Daerah Istimewa Surakarta meliputi daerah Surakarta, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan Sragen; serta Mangkunegaran meliputi Wonogiri dan Karanganyar. Namun, status keistimewaan itu tidak langgeng seperti DIY. Pengaruh Paku Buwono II kalah dengan dr. Muwardi dan laskar Barisan Banteng yang dipimpinnya ketika zaman revolusi.

Pada 17 Oktober 1945, Patih Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh laskar tersebut. Januari 1946, Paku Buwono XII dan ibunya diculik. Keduanya lalu dibebaskan setelah membuat surat pernyataan penyesalan. Kemudian pada 19 April 1946, laskar Banteng menerobos keraton menuntut Paku Buwono XII menyerahkan kekuasannya kepada rakyat. Sultan semakin terpojok.

Baca juga: Cara Mendapatkan Gelar Keraton untuk Hidup Ala Bangsawan

Akhirnya pada 30 April 1946, Paku Buwono XII melepas Daerah Istimewa, sedangkan Pura Mangkunegaran menyerahkan wilayahnya kepada pihak konstitusi Republik Indonesia. Kemudian 23 Mei 1946, empat kabupaten di yang wilayah swapraja Surakarta memutuskan hubungan dengan Keraton. Daerah itu lalu masuk ke wilayah Jawa Tengah, status istimewa hilang.

Daerah Istimewa Surakarta hanya bertahan selama satu tahun. Sekarang Kasunanan Surakarta hanya tinggal keraton saja tanpa kekuasaan politik. Keberadaan Kasunanan Surakarta kini hanya bertugas sebagai penjaga budaya Jawa. Sejumlah abdi dalem keraton pernah berunjuk raja meminta status keistimewaan Surakarta dikembalikan. Namun itu sangat mustahil.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU