Joki Cilik Sumbawa, Bertaruh Nyawa Demi Sebuah Kebanggaan

Tak ada rasa takut atau gentar di hati para joki cilik Sumbawa. Hanya ada satu kata, menang!

SHARE :

Ditulis Oleh: Ade Setiawan

photo from republika.co.id

Anak kecil itu harus rajin bermain, agar masa kecilnya bahagia. Anak kecil tak boleh beraktifitas berat. Anak kecil harus rajin belajar. Begitu normalnya.

Saat libur kuliah, aku sempat menunggang kuda di kawasan wisata Candi Gedong Songo Kabupaten Semarang. Mungkin karena memang aku yang tak terlalu jago, menunggang kuda ternyata cukup melelahkan, meski hanya menunggang santai untuk berkeliling. Kita harus cukup sering menyeimbangkan posisi.

Aku tak bisa membayangkan bocah-bocah itu, dengan fisik mereka yang kecil harus memacu kuda yang berkali-kali lipat lebih besar dari tubuh mereka secepat mungkin.

Di Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat, ada sebuah tradisi unik yang hingga kini masih dipertahankan masyarakat yang tinggal di desa-desa. Tradisi pacuan kuda atau warga lokal menyebutnya sebagai “main jaran” merupakan tradisi turun menurun masyarakat Sumbawa. Tradisi ini digelar tiap musim kemarau.

Yang berbeda, pacuan kuda di Pulau Sumbawa ini tidak menggunakan joki dewasa.

Di sini, joki yang digunakan adalah joki anak-anak berumur sekitar 6-12 tahun. Mereka dikenal dengan sebutan Joki Cilik atau Juki dalam bahasa Sumbawa.

Berbeda denganku yang langsung kelelahan hanya karena menunggang kuda dengan santai, bocah-bocah ini begitu mahir mengendalikan kuda-kuda pacu. Menjadi Joki Cilik adalah sebuah kebanggaan bagi mereka. Fisik mungil bukan penghalang. Mereka tak gentar menunggangi kuda bertubuh tinggi besar, bahkan sedikit liar.

Mereka tak pernah berpikir tentang cedera. Bisa ikut berlaga, memacu sekencang-kencangnya kuda pacu mereka dan merebut predikat juara, itu yang tertancap dalam pikiran mereka.

Di Pulau Sumbawa, pacuan kuda menjadi primadona. Selain menjadi atraksi hiburan, pacuan kuda ini juga menjadi arena untuk menguji nyali para joki dan juga untuk melihat apakah para peternak berhasil merawat kuda-kuda mereka dengan baik.

Menang bukan hanya persoalan kebanggaan. Uang berbicara di sini. Kuda yang menang dapat mendongkrak harga jual kuda. Bukan sekedar receh, uang sejumlah ratusan juta lah yang berputar di arena ini.

Joki cilik lahir secara turun temurun. Biasanya seorang bocah menjadi joki cilik karena orang tuanya juga mantan joki.

Tak ada yang tahu secara pasti, kapan tradisi ini dimulai. Joki cilik ini merupakan bocah-bocah bernyali besar. Siap bertarung kapanpun di arena pacuan kuda. Mereka dikenal dengan sebutan petarung cilik dari Pulau Sumbawa.

Dalam suatu acara pacuan kuda, suasana mirip seperti sebuah karnaval, begitu ramai. Orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu arena. Tak peduli panas yang begitu terik, sorak sorai penonton terdengar membahana.

“Panas matahari dan debu itu biasa, makanan sehari-hari, karena mereka adalah para peternak dan petani yang lahir dan dibesarkan di daerah sabana”

Di tengah sorak sorai, para joki cilik terus bertarung memacu kuda tunggangan. Meski raut mukanya tegang, tapi mereka tak pernah menunjukkan rasa gentar. Para joki cilik ini memiliki nyali sangat besar.

Kau mungkin tak percaya, mereka berlaga tanpa perlengkapan standar pacuan kuda. Hanya helm dan pecut yang menjadi senjata andalan utama. Bahkan mereka duduk di atas punggung kuda tanpa beralaskan pelana.

Saat suatu kompetisi pacuan kuda mencapai babak final, tribun yang menjadi tempat paling teduh di arena pacuan kuda akan penuh sesak oleh ratusan penonton. Mereka yang tak kebagian tempat di tribun rela berpanas-panas di luar pagar pembatas arena.

Kuda-kuda pacu begitu kencang berlari. Kaki kokohnya menjejak-jejak tanah, menghamburkan lapisan debu di arena pacuan hingga membumbung tinggi.

Terlempar dari atas kuda tunggangan sudah biasa bagi para joki cilik. Mereka terhempas jatuh di atas lintasan pacu yang keras berdebu. Cedera yang dialami para joki cilik ini adalah hal lumrah dan biasa terjadi.

Mungkin biasanya orang-orang tua akan berteriak panik melihat tontonan seperti itu, namun di sini, para orang tua joki cilik berteriak-teriak memberi semangat di luar pagar kayu pembatas lintasan pacu. Suatu kebanggaan memiliki seorang jawara dalam keluarga.

Mencerna dan menikmati suatu tradisi terkadang harus berlawanan dengan nurani. Nuraniku jelas, tak sepantasnya anak-anak kecil itu turun ke arena.

Namun ini adalah sebuah tradisi yang telah diturunkan dari beberapa generasi.

“Nikmati dan berdoa saja mereka tak terlempar dari kuda dan terbunuh”

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU