Ini Alasan Mengapa Harus Mendukung Elektrifikasi Sumba Melalui #Gerakan2020

Mari kita bahu membahu membantu eletrifikasi Sumba dengan menyebarkan #Gerakan2020 ini

SHARE :

Ditulis Oleh: Dea Sihotang

Oktober lalu, aku dan tiga orang teman lainnya berkesempatan untuk ke Sumba, Nusa Tenggara Timur selama sekitar 10 hari. Perjalanan kali ini istimewa, karena aku dan teman-teman terpilih menjadi tim Ekspedisi Sumba 2015 yang memang sebelumnya telah diadakan tahunan oleh Hivos, sebuah lembaga nirlaba yang berada di Indonesia sejak tahun 2011.

Hivos bersama pemerintah Indonesia mempunyai impian besar untuk membuat Sumba sebagai pulau ikonik (Sumba Iconic Island), yaitu pulau satu-satunya di Indonesia yang menggunakan 100% Energi Baru Terbarukan pada tahun 2020. 5 tahun lagi. Cukup singkat. Karena itu Hivos mengadakan Ekspedisi Sumba setiap tahunnya untuk mengampanyekan tentang Sumba Iconic Island, juga meningkatkan pengetahuan khalayak umum mengenai program tersebut. Tim ekspedisi kali ini adalah 4 orang dari Indonesia dan 4 orang dari Belanda.

Tim Ekspedisi Sumba 2015. Foto oleh Dea Sihotang

Kegiatan Ekspedisi diatur sedemikian rupa sehingga kami bisa merasakan kehidupan seperti layaknya yang dilakukan oleh masyarakat lokal sehari-hari. Dari bangun tidur pada pagi hari, lalu sarapan yang sangat sederhana yaitu ubi dan singkong dari kebun yang ditaruh di kayu api panas dan harus kami bersihkan dari arang sebelum bisa di konsumsi. Lalu bekerja di ladang, dimana kami harus menimba air berember-ember, mengangkat ember air tersebut, lalu menyiram tanaman dengan menggunakan kaleng bekas yang telah dibolong-bolongi bagian bawahnya. Semua serba manual.

 

Belajar berkebun dengan masyarakat lokal. Foto oleh Dea Sihotang

Beginilah tiap hari masyarakat menyiram tanaman. Foto oleh Dea Sihotang

Setelah itu kami harus menyiapkan makan siang kami, yaitu memasak menggunakan kayu bakar. Asapnya yang pekat membuat kami terbatuk-batuk dan mata menjadi perih dan kemerahan. Untuk menyiapkan makanan saja diperlukan waktu sekitar satu jam karena lamanya waktu yang diperlukan untuk memasak dengan kayu.

Memasak dengan Kayu. Foto oleh Feri Latief

Lalu selain itu, kami belajar bagaimana cara membuat kompos. Kompos organik yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan alami, yaitu kotoran hewan yang sudah kering, daun-daun yang harus kami cacah dan pisahkan dari rantingnya, ditambah dengan air dan gula.

Kami belajar membuat kompos organik. Foto oleh Dea Sihotang

Bermain-main dengan kotoran hewannya belum selesai, karena kemudian kami harus menyekop berember-ember kotoran hewan, namun kali ini harus kotoran hewan yang masih basah, fresh from the oven, karena kali ini kami akan membuat Biogas, salah satu teknologi energi baru terbarukan yang dapat mengubah kotoran hewan menjadi kompor gas biru yang tidak berbau. Keren kan teknologi ini? Namun, jangan lupa membayangkan bagaimana kami harus menutup hidung dan menahan nafas selama proses pembuatan Biogas ini berlangsung… Biogas ini adalah salah satu cara untuk mengurangi ibu-ibu memasak dengan menggunakan kayu bakar, sehingga kesehatan mereka yang rentan terkena gangguan pernafasan akan berkurang.

Mengaduk kotoran hewan untuk dijadikan biogas. Foto oleh Dea Sihotang

Kami pun berkunjung ke Sekolah Dasar yang letaknya berkilo-kilo meter dari rumah dimana kami tinggal dengan harus melewati jalan berbatu yang berbukit-bukit. Saat mulut ingin mengeluarkan kalimat berkeluh kesah karena panas matahari yang menyengat dan membuat sekujur tubuh kami basah karena keringat, kami teringat bahwa inilah jalur yang biasa dilewati oleh anak-anak sekolah yang masih kecil-kecil demi menimba ilmu setiap harinya.

Berfoto bersama-sama adik-adik di Sumba. Foto oleh Dea Sihotang

Bukan hanya anak-anak sekolah, para guru pun berjalan jauh dari rumah mereka demi bisa mengajar murid-murid dan menyalurkan ilmu yang mereka punya setiap harinya, tanpa lelah, walau pendapatan yang mereka punyai sangat minim. Seorang guru bercerita kepada kami, bahwa dia pernah tidak mempunyai gaji bertahun-tahun, namun dia tetap selalu bersemangat untuk mengajar murid-murid setiap harinya. Pengorbanan yang sangat besar. Bulir-bulir keringat yang mengucur di peluh kami siang bolong itu, terasa tidak ada apa-apanya dibanding dengan pengorbanan yang mereka lakukan demi menimba ilmu setiap harinya.

Setelah mengajar adik-adik di SD Prailangina. Foto oleh Dea Sihotang

Tergerak dengan keadaan sekolah yang belum teraliri listrik, padahal listrik merupakan salah satu kebutuhan vital masyarakat pada umumnya dewasa ini, terlebih untuk kemudahan proses belajar mengajar, aku dan teman-teman dari tim Ekspedisi Sumba 2015 bermaksud untuk menghadirkan listrik di SD Prailangina, Sumba Timur, dengan menggunakan panel surya, salah satu teknologi lain dari energi baru terbarukan. Sumba memang memiliki banyak sekali potensi energi baru terbarukan, yaitu air atau yang dikenal sebagai tenaga mikro hidro, panel surya dari sinar matahari, biogas yang dibuat dari kotoran hewan karena banyaknya ternak di Sumba, lalu kekuatan angin yang bisa dimanfaatkan melalui kincir-kincir angin.

Namun mengharapkan program 100% Sumba menggunakan energi baru terbarukan pada tahun 2020, di nilai masih tergolong lama, padahal beberapa siswa akan mengikuti ujian akhir beberapa bulan lagi, lalu musim hujan akan datang sebentar lagi, yang berarti cuaca akan gelap dan mendung. Tanpa listrik untuk menerangi ruang belajar, akan susah sekali bagi mereka untuk belajar maupun mengajar. Karena itulah kami berinisiatif untuk membuat #Gerakan2020.

Tos tangan bersama adik-adik di SD Prailangina. Foto oleh Dea Sihotang

Awal inisiatif penamaan #Gerakan2020 adalah sejalan dengan mimpi besar Sumba Iconic Island. Jika saja ada 2020 orang yang mau menyumbang masing-masing minimal Rp 50.000, maka target penggalangan dana kami untuk membeli 6 buah panel surya yang akan dipasang di SD Prailangina akan tercapai. Jumlah tersebut mungkin tidak begitu “terasa” efeknya bagi sebagian besar orang, namun akan sangat terasa efeknya bagi adik-adik kita di Sumba.

Kami berusaha menggalang dana sampai akhir November 2015 ini di www.kitabisa.com/gerakan2020. Penggalangan dana ini akan dipergunakan untuk membeli perlengkapan dan pemasangan panel surya yang akan dilakukan oleh Winrock International dan Yayasan Rumah Energi, sebuah mitra lokal pelaksanaan Sumba Iconic Island di Sumba.

Elektrifikasi SD Prailangina juga memiliki multiple effects. Selain memberikan penerangan bagi para murid dan guru, ini pun bisa digunakan sebagai charging station. Sejalan dengan program ini, masyarakat Prailangina akan mempunyai lampu panel surya yang dapat di charge. Siswa akan membawa lampu tersebut ke sekolah, menchargingnya selama jam pelajaran berlangsung, lalu membawanya pulang ke rumah, yang bisa dipergunakan untuk menerangi rumah di malam hari, sehingga mereka bisa mengerjakan PR, atau ibu-ibu bisa tetap menenun kain Sumba walau malam hari, dan bapak-bapak bisa melakukan kegiatan mereka diterangi cahaya lampu. Uang Rp. 50,000 yang kita berikan tadi memberikan dampak yang begitu besar untuk teman-teman kita sebangsa dan setanah air.

Tunggu apa lagi? Mari kita bahu membahu membantu untuk Sumba melalui www.kitabisa.com/gerakan2020 dan menyebarkan tentang #Gerakan2020 ini. Ingat jika ada 2,020 orang yang bergerak bersama-sama, tidak ada hal yang tidak mungkin tidak tercapai. Aku yakin kamu pasti ingin jadi bagian dari gerakan yang baik ini.

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world – Nelson Mandela

 

Walau fasilitas sekolah tidak memadai mereka tetap bersemangat belajar. Foto oleh Dea Sihotang

Lalu kalau kamu tertarik untuk menjadi Tim Ekspedisi Sumba 2016, silahkan cek di www.supportsumba.org ya!

Let’s Light Up Sumba!

Salam #Gerakan2020,

Dea Sihotang

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU