Hakikat Pendakian Bagi Seorang Pendaki Pemula Seperti Saya

setiap puncak yang kamu datangi akan mengajarkan sesuatu, meskipun itu puncak yang sama

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Foto oleh echigo

 

Hallo, saya Echi, (sekarang) bukan lagi pendaki tapi pernah sangat menggilai pendakian. Kalau Kamu baca potongan percakapan di atas, itulah ucapan yang terlontar dari mulut saya ketika seorang teman mengajak naik Gunung Lawu 3 tahun silam. Penolakan ajakan naik gunung itu saya lontarkan dengan alasan ‘sudah pernah ke sana’. Dan hingga sekarang, saya belum pernah naik Gunung Lawu bersama dia.

Setiap pendaki pernah ‘labil’ pada masanya

Saya tidak mau mendaki gunung melalui jalur yang sama mungkin karena waktu itu saya sedang ‘labil’. Karena saat itulah masa-masanya saya menjadi seseorang yang ambisius. Mengejar banyak puncak gunung hanya karena ingin memperoleh pengakuan dari sekitar. Dalam lubuk hati terdalam, merasa sangat senang ketika mendengar kalimat pujian ‘wah, keren ya sudah banyak puncak gunung yang kamu daki’.

Apakah Kamu sedang mengalami hal sama? Jika iya, nikmatilah. Karena semua pernah ‘alay’ dan ‘labil’ pada masanya. Nikmati saja. Tak perlu malu mengakuinya. Namun harus diingat, jangan biarkan egomu menghancurkan dirimu, dan juga alam sekitar. Jadilah seorang pendaki yang bijak bertindak. Pahami benar batas dirimu dan juga aturan di tiap gunung yang didaki.

Pelajaran berharga setelah mendaki bersama pendaki senior

Semakin sering naik gunung, semakin sering saya bertemu pendaki dari berbagai kalangan. Pendaki senior, pendaki unyu-unyu, pendaki apapun itu namanya. Saya mengamati dan pelajari. Bukan cuma tentang pendakian tapi juga tentang kehidupan. Dari situlah, saya mulai introspeksi diri.

Pernah suatu ketika, saya seperti mendapat tamparan keras di wajah saya, ketika berkesempatan mendaki bersama seorang pendaki senior yang sudah menjelajah banyak gunung. Sebut saja dia Polet. Dia, setiap kali diajak naik gunung dengan senang hati pasti menerima ajakan itu. Tak peduli sudah puluhan kali mendaki gunung yang sama, dia selalu antusias dengan pendakiannya. Pernah ada seseorang yang bertanya kepadanya, ‘sudah mendaki  gunung mana saja, mas?’ Dia hanya menjawab singkat, biasanya menjawab dengan kalimat, ‘gunung sini-sini aja’.

‘Bohong,’ pikir saya. Saya tahu benar, gunung mana saja yang sudah dia tanjaki, sangat banyak untuk ukuran pemula seperti saya. Dan di situlah saya tersengat. Responnya sangat berbeda dengan saya yang langsung membusungkan dada bangga menyebut beberapa cuil gunung dan bukit yang pernah didaki. Ternyata ilmu padi benar adanya, “makin berisi makin merunduk”.

Saya pun mulai mempertanyakan apa makna pendakian 

Pengalaman naik gunung bersama beberapa pendaki yang sudah banyak merasakan asam garam, membuat saya meresapi kalimat penolakan ajakan pendakian teman saya di awal artikel ini. Mulai mempertanyakan, kenapa menolak diajak naik gunung (hanya) karena sudah pernah mendaki gunung yang sama? Lalu tibalah pada pertanyaan, apasih makna pendakian? Apa sih yang saya cari dari setiap puncak-puncak gunung?

Jika menarik memori ke belakang, awalnya saya hanya ingin menikmati panorama gunung yang cantik. Entah, setelah beberapa kali mendaki, munculah ambisi pribadi dalam diri -atau mungkin lebih tepat disebut obsesi. Mendaki gunung menjadi semacam ‘prestise’, ingin diakui teman-teman sekitar.

Gunung yang sama belum tentu memberikan ‘pelajaran’ yang sama

Yang sebaiknya perlu diwaspadai adalah ketika diri ini sudah ‘malas mendaki’ dengan alasan sudah mendaki gunung yang sama berkali-kali.

Mungkin sudah tiba masanya, di mana naik gunung bukan lagi sekadar kesenangan atau kebanggaan. Setelah pendakian bersama pendaki senior, saya jadi mengerti bahwa gunung bukan sekadar ‘area bermain’, tapi juga ‘sekolah’, tempat mencari ilmu. Sama seperti yang dituliskan Sir Martin Convay:

Kalau boleh, saya ingin menambahkan beberapa kata pada kutipan Sir Martin Convay bahwa ‘setiap puncak yang kamu datangi akan mengajarkan sesuatu, meskipun itu puncak yang sama’. Karena pendakian itu bukan masalah di mana gunungnya, namun dengan siapa dan bagaimana cara kita menikmatinya. Gunung yang sama belum tentu memberikan rasa yang sama.

***

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU