Film Baraka mungkin tak terdengar familiar di Indonesia. Film ini merupakan dokumenter non-naratif yang disutradarai oleh Ron Fricke dan pertama rilis tahun 1992 di Toronto International Film Festival di Kanada.
Berdurasi 96 menit, hampir tak ada narasi, dialog dan tulisan satupun yang menunjukan keterangan scene dalam film. Film dokumenter non-naratif, itulah konsep yang diangkat oleh Ron. Terkait visual, yang spesial dari Film Baraka adalah penggunaan kamera 70 mm dengan sistem TOAD-AO. Pada umumnya, film dibuat dengan kamera 35 mm.
Film Baraka juga menjadi film pertama di dunia yang dipindai menjadi resolusi 8K.
Terlepas dari semua masalah teknis di atas, Film Baraka menyimpan hal yang jauh lebih spesial di dalamnya.
“Baraka” berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘berkah’.
Film Baraka berisi video yang diambil di 25 negara dalam enam benua berbeda. Keseluruhan proses pembuatan film ini memakan waktu 30 bulan dengan kisaran waktu 14 bulan proses di lokasi.
Bagian awal Film Baraka, Ron menampilkan suasana yang tenang di pemandian air panas di Nagano, Jepang. Memulai dengan tempo yang sangat lambat, tunggu sampai masuk pada bagian pertengahan, skoring yang full beat terasa manis saat dikombinasikan dengan gerakan cepat dari berbagai macam scene yang diambil dari sebuah peternakan ayam, hiruk pikuk suasana di jalanan Tokyo, dan sibuknya pekerja di perusahaan keyboard di Thailand.
Agama-agama di bumi dan pengikutnya Ron tampilkan lengkap hingga cara mereka memohon pada Tuhan-nya.
Tak hanyatempat dalam skala luas, Ron pun memunculkan keindahan secara detail dari kehidupan manusia pedalaman di berbagai penjuru dunia, seperti dari suku-suku pedalaman di Brasil dengan tubuh dan wajah yang diwarnai, Suku Aborigin yang menggambari tubuh mereka dengan corak titik-titik, atau Suku pedalaman di Kenya yang menggunakan kalung, gelang, atau anting yang terbuat dari manik berwarna warni yang tersusun indah dan rapi.
Kemegahan bangunan-bangunan kuno dengan skoring megah menjadi adegan penutup film yang memorable.
Yang paling menarik dari Film Baraka adalah Ron tak butuh dialog dan tulisan untuk bercerita.
Film Baraka memiliki alur sederhana yang mampu menghipnotis penontonnya untuk tetap di depan layar hingga gambar terakhir ditampilkan.
Gambar-gambar di film ini bukan hanya luar biasa secara teknis dan mengandung makna-makna tersirat yang dalam, lebih dari itu, Ron mengingatkan bahwa semesta tidak berdiri sendiri. Sebagai penguat keindahan Bumi ada umat manusia. Manusia berdoa sesuai agama masing-masing, berkesenian, melakukan upacara adat, dan hidup dalam harmoni dengan alam.
Namun, realitanya tak selalu seperti itu.
Industri mengambil alih, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin, pohon ditebangi membabi buta, teknologi mendominasi, manusia kerja seperti robot demi mengejar pengakuan dan kebanggaan, saat itulah harmonisasi dengan alam perlahan luntur.
Ron ingin mengingatkan, selain tentang hubungan manusia dengan alam, ada perputaran roda kehidupan individu. Karena itulah Film Baraka tak sekadar menampilkan keindahan alam atau menariknya kearifan lokal, tapi ada pula adegan memperlihatkan orang mati, berbagai makam atau monumen untuk arwah leluhur.
Dengan tagline A World Beyond The Words yang dituliskan pada posternya, Ron memang ingin menunjukkan bahwa keindahan yang tersaji di bumi ini tidak bisa dan tak perlu dilukiskan dengan kata-kata. Tak perlu juga penonton memikirkan di mana adegan tersebut diambil, karena semua tempat di bumi sama-sama indah.