Fakta-fakta Unik Dari Wisata Di Kota Medan

Mengenal kebudayan melalui wisata di Kota Medan

SHARE :

Ditulis Oleh: Makmur Dimila

Sangat tidak lazim menyadari diri saya sebagai orang Aceh berada di Medan pada pagi pertama Hari Raya Idul Adha 1436 Hijriyah. Saat sebagian perantau lain bertakbir di kampung halaman, saya justru baru tiba di kota ketiga terbesar di Indonesia ini.

Sebabnya tak lain. Persepsi buruk yang kadung melekat bagi ibu kota Sumatera Utara ini semenjak saya kecil: kota dengan tingkat kriminalitas tinggi! Karena cap itulah saya diutus orangtua untuk menemani kakak saya hingga sampai dengan selamat di Bandara Kualanamu. Saat ia sudah bertemu dengan kawan-kawannya yang akan berangkat bersama ke Surabaya, barulah saya kembali ke Kota Medan.

Oke, misi saya tuntas. Mendadak berkelebat kembali omongan buruk orang-orang mengenai Medan. Saya pribadi tak ingin langsung percaya. Benarkah ibu kota provinsi tetangga Aceh ini sebegitu menyeramkan? Saya memulai wisata ke kota Medan untuk membuktikannya.

 

1. Tak ada Lebaran

Pemasangan umbul-umbul ketupat di beberapa sudut kota cukup menandakan kalau Medan turut merayakan Idul Adha. Foto oleh Makmur Dimila

“Lebaran dulu, Kak,” saya julurkan tangan kepada sepupu saya yang ikuti ayahnya menetap di Medan dengan maksud bersalam-salaman seperti tradisi lebaran pada umumnya.

“Di sini tidak ada lebaran kalau Idul Adha, Adek. Sama saja seperti hari biasa,” terangnya.

Tentu sebenarnya tetap ada perayaan lebaran, namun suasananya mungkin tak semeriah di kampung halaman saya.

Di jalanan, hiruk-pikuk meraung sebagaimana biasanya. Kecuali kantor-kantor yang libur nasional, roda kehidupan nampak berjalan seperti biasa. Hanya beberapa kali tadi pagi terdengar takbir dari masjid. Bagi saya orang Aceh ini tak biasa.

Namun bagi para perantau Aceh di Medan nampaknya efek lebaran tetap terasa. Beberapa kedai kuliner asal tanah rencong, semisal Mie Aceh Titi Bobrok, Keude Kuphi Ulee Kareng & Gayo, dan Nasi Goreng Daus, nampak tutup. Mereka bahkan belum buka hingga H+4 lebaran.

 

2. Ini Medan, Bung! Dilarang keluyuran

Gedung vihara yang tampak menarik dari Jembatan Rekreasi di sekitar Stasiun Kereta Api Kota Medan. Foto oleh Makmur Dimila

Sepupu ditelepon kakak tertua saya. Ia titip pesan agar saya tak keluyuran malam-malam di Medan.

“Kau dihadang geng motor, mampus. Jangan keluyuran di atas jam 12 malam!” saran sepupu. Jangan samakan dengan di Banda Aceh yang aman-aman saja berkeliaran sampai subuh.

Beberapa kali memang saya melihat poster peringatan “Waspadai Aksi Begal” di beberapa sudut kota.

Namun yang cukup melegakan, semenjak Kapolda Sumut dipegang Irjen Eko Hadi Sutedjo pada September 2014 (digantikan oleh Irjen Pol Ngadino pada 6 September 2015), angka kriminalitas berhasil ditekan dan aksi-aksi preman berkurang.

“Dulu tak aman kita jualan seperti ini, sebentar-sebentar datang preman minta ini-itu,” ungkap Fakrod, menunjuk warkopnya persis di tepi jalan kota.

Dia orang sekampung saya yang sudah tujuh tahun jualan di Kawasan Medan Johor. Belakangan ini, ia merasa lega buka usaha warung di tepi jalan kota, meski kebisingan mewarnai hari-hari.

Satu hal paling ekstrim saya lihat di sekitar lokasi ia jualan, lalu-lintas kendaraan sungguh tak ramah pejalan kaki. Di samping tak ada zebra cross, sopir roda dua maupun roda empat sangat berat untuk mau ngerem sejenak ketika pejalan kaki menyeberang. Sebagai pejalan kaki nampaknya saya benar-benar harus ekstra hati-hati di sini.

 

3. Orang Padang jual kopi aceh, orang Aceh jual nasi padang

Suasana malam di Grand Keude Kupie Ulee Kareng & Gayo di Kawasan Medan Sunggal. Foto oleh Makmur Dimila

Banyak orang Aceh merantau ke kota Medan. Kebanyakan mereka menjadi pedagang. Ada pula kerja paruh waktu sambil kuliah. Sebagian bahkan membangun rumah tangga. Mereka cuma pulang ke kampung halaman, biasanya, saat Hari Raya Idul Fitri.

Sepupu saya yang lain misalnya, Joe, kuliah di Universitas Sumatera Utara. Saya membujuknya untuk nongkrong di warung kopi aceh. Saya penasaran, benar-benar kopi aceh ‘asli’ atau hanya sekadar nama.

“Kopinya benar-benar cita rasa kopi ulee kareng seperti di Banda Aceh!” Itulah reaksi saya saat mencecap tegukan pertama kopi hitam di Grand Keude Kupie Ulee Kareng & Gayo, di Jalan Sei Rayu, Medan Sunggal. Pantas ramai pengunjung di bekas rumah mewah tiga lantai yang disulap menjadi warkop ini.

Kedai kopi ini hingga tahun lalu berada di tepi jalan kota Kawasan Ringroad, sebuah kedai biasa. Baru beberapa bulan belakangan relokasi ke tempat lebih asing. Namun, para pelayannya yang berwajah Sumut, seperti kecapaian melayani pengunjung membludak.

“Baristanya kelihatan orang Aceh,” sebut seorang teman Joe malam itu.

Mungkin. Enak-tidaknya kopi tergantung keterampilan barista saat menyeduhnya. Selain kepiawaian pemilik brand Kopi Ulee Kareng dalam meracik bubuk kopi. Tahu tidak siapa pemilik usahanya?

“Yang punya orang Padang,” sebut teman Joe.

Kalau benar, pasti si pengusaha itu mesti bayar hak paten Kopi Ulee Kareng yang disematkan pada nama kedainya.

Hal menarik lainnya di Medan, pernah suatu ketika saya dan Joe beli nasi di rumah makan khas minang yang dikelola orang Aceh, di Jalan Amal. Rumah makan Abdya, yang merupakan singkatan dari Aceh Barat Daya. Apakah pengusahanya juga bayar hak paten nama Masakan Minang?

Seharusnya. Begitulah politik dagang. Namun tak soal selama semua usaha dijalankan dengan jujur dan halal. Kedua kedai beda segmen itu, tentunya, menguntungkan orang-orang seperti saya ketika kerinduan selera tanah lahir kumat.

 

4. Perantau yang dikira sudah mapan

Martabak dengan kuah kari bikinan Ai yang sering dipesan pengunjung. Biasanya orang Aceh makan roti canai—bahan baku martabak—dengan kuah kari. Foto oleh Makmur Dimila

Adik si Fakrod, Ai, juga merantau ke Medan. Ia bantu-bantu di kedai abangnya itu. Berdiri di rak mie aceh, martabak, dan juga lontong. Sejak menjelang maghrib hingga fajar menyingsing.

“Kami perantau, masih bersih-bersih ember saat orang lain baru mau bangun tidur.”

Kami bercerita banyak. Ai menanggapi kebiasaan orang di kampung halaman dalam menilai perantau. Cap orang di kampung halaman, para perantau pasti bawa banyak uang ketika mudik.

“Padahal uang di rantau sama juga dengan uang di kampung,” keluhnya.

Ya, terkadang orang memang sembarang memberi cap.

Mendengar cerita Ai tiba-tiba saya teringat dengan salah satu kenalan, seorang perantau Aceh di Depok. Di lingkungannya pun dia digolongkan sebagai orang Aceh yang sudah hidup mapan di Jawa.  Padahal, saat saya berkunjung ke tempatnya di Depok, biasa-biasa saja, tak ada kesan ‘perantau sukses’ menempel di dirinya. Ia masih membeli deterjen dengan rupiah, kok.

 

5. Telur medan masuk Aceh, “telur Aceh” masuk Medan. Benarkah?

Foto oleh Makmur Dimila

Pameo yang saat ini masih berkembang di Aceh. Kerap ditujukan pada para pengusaha dan pejabat yang “katanya” pergi ke Medan setiap Sabtu-Minggu.

Golongan ini dikonotasi-burukkan sebagai “telur aceh” yang masuk ke Medan setiap akhir pekan, untuk mengimbangi kenyataan bahwa orang Aceh sangat bergantung pada pasokan telur (sebenar-benarnya telur ayam) dari Medan, sama halnya tomat medan.

Saya pribadi tak setuju dengan pameo itu. Memangnya, mereka pernah melihat jelas atau bertanya langsung pada pihak terduga “telur aceh”? Terlalu naif memikirkan hal yang tak pasti benar. Bisa jadi ia ada urusan bisnis, proyek, kantor, medis, atau keluarga.

***

Sebelum kunjungan ini, terakhir saya berkelana di Medan pada 2012. Tak seperti saat itu, sekarang kota metropolitan ini tampak lebih bersih dan rapi. Dan bangunan-bangunan sedikit diselimuti kabut asap dari Riau.

Namun yang tak berubah, masyarakatnya masih ramah dan sikap mereka dalam menghargai keberagaman patut diacungi jempol.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU