Dieng Culture Festival (DCF) pertama kali diadakan pada tahun 2010 atas kerjasama dari Equator Sinergi Indonesia, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa, dan Dieng Ecotourism. Namun sebelum gelaran bertajuk DCF resmi dimulai, jauh sebelumnya pernah pula hadir acara serupa yakni Pekan Budaya Dieng oleh masyarakat dan pemuda Dieng Kulon. Baru setelah memasuki tahun ketiga masyarakat berinisiatif membentuk kelompok sadar wisata dan mengubah nama Pekan Budaya Dieng menjadi Dieng Culture Festival.
DCF menggabungkan konsep budaya
dan wahana wisata alam, dengan misi utama pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.
Setiap tahunnya DCF selalu ramai dan berhasil menyedot animo wisatawan lokal
maupun internasional. Inti acara dalam DCF adalah prosesi ruwatan rambut
gimbal, dan dimeriahkan berbagai acara seperti pentas seni budaya, festival
lampion, pertunjukan jazz atas awan, pagelaran wayang kulit, dan sebagainya.
Tahun 2019 ini gelaran DCF
memasuki pelaksanaan yang ke-10. DCF 2019 akan dilaksanakan pada tanggal 2-4
Agustus dengan mengangkat tema The
Inspiration of Culture. Susunan acara DCF ke-10 hingga saat artikel ini
ditulis (10/5/19) belum diumumkan secara resmi, namun jika berkaca dari
pelaksanaan di tahun sebelumnya tidak akan ada perubahan acara yang berarti.
Ruwatan Rambut Gimbal merupakan acara inti dari DCF yang bertujuan untuk mengusir nasib buruk atau kesialan baik bagi si anak gimbal maupun masyarakat Dieng umumnya. Sebelum dilakukan prosesi ruwatan rambut gimbal, terlebih dahulu para tetua adat akan menjalankan ritual-ritual di sejumlah tempat seperti Candi Dwarawati, Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatotkaca, Telaga Balikambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, Goa di Telaga Warna, Kali Pepek, dan Pemakaman Dieng.
Rambut gimbal adalah fenomena
unik yang terjadi di masyarakat Dieng sejak dahulu. Secara acak akan ada
beberapa anak Dieng yang berusia 40 hari hingga 6 tahun tumbuh rambut gimbal di
kepalanya secara alami. Masyarakat Dieng percaya bahwa anak berambut gimbal merupakan
titipan dari Kyai Kolo Dete, seorang punggawa dari Kerajaan Mataram Islam pada
abad ke-14 yang diutus untuk mempersiapkan pemerintahan di Dataran Tinggi
Dieng.
Konon saat tiba di Dataran Tinggi
Dieng Kyai Kolo Dete bersama istri mendapatkan ilham dari Nyi Roro Kidul untuk
membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Tolok ukur kesejahteraan ditandai
dengan keberadaan anak berambut gimbal. Bagi masyarakat Dataran Tinggi Dieng
jumlah anak berambut gimbal berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan. Semakin
banyak jumlah anak berambut Gimbal di Dieng maka semakin sejahtera
masyarakatnya, begitu pula sebaliknya.
Festival jazz Atas Awan merupakan acara pendukung gelaran DCF yang selalu di nanti oleh wisatawan. Biasanya Jazz Atas Awan akan digelar pada malam pertama pelaksanaan DCF sekitar pukul 19.30 WIB. Hingga saat ini belum ada informasi resmi dari panitia DCF X terkait bintang tamu yang akan mengisi Jazz Atas Awan. Tak tanggung-tanggung dari tahun ke tahun panitian DCF selalu menampilkan sosok penyanyi kenamaan ibukota. Pada tahun 2018 lalu sejumlah penyanyi yang diundang diantaranya Best Friend Project, Wedding Jahe, Logging In The Deep, End Hope, Every Day, Later Just Find, Tjut Nyak Deviana, dan musisi Jepang Hiroaki Kato.
Selain Prosesi Ruwatan Rambut Gimbal dan Festival Jazz Atas Awan, Festival Lampion juga salah satu magnet wisatawan yang berkunjung ke Dieng Culture Festival. Belajar dari penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya, Festival Lampion biasanya akan dilaksanakan pada malam kedua DCF sebagai penutup rangkaian acara hari kedua. Bertempat di lapangan Candi Arjuna, ratusan lampion kertas akan diterbangkan ke langit Dieng. Sontak langit Dieng akan bercahaya selama setengah jam akibat lampion-lampion ini.
Selain acara-acara diatas masih banyak lagi acara pendukung lainnya yang tak kalah seru seperti Pameran Produk UMKM, Kongkow Budaya, Festival Caping, Festival Domba, Festival Bunga, Festival Tumpeng, Pertujukan Seni, Larungan, Kirab Budaya, dan Reboisasi.
Dieng terkenal dengan makanan khasnya yaitu Mie Ongklok. Mie Ongklok merupakan kuliner khas Dieng yang dibuat menggunakan campuran mie rebus serta kol, potongan daun kucai, dan kuah kental berkanji yang disebut loh. Penyebutan Ongklok berasal dari nama alat berupa anyaman bambu yang digunakan untuk merebus mie ini.
Selain Mie Ongklok, Dieng juga dikenal dengan Tempe Kemul. Tempe Kemul secara sepintas hampir menyerupai Tempe Mendoan, perbedaannya terletak pada lebar tepung yang lebih luas dan penggunaan kunyit sebagai pewarna. Tempe kemul dibuat dengan campuran tepung gandum, tepung singkong, dan tepung beras ditambah dengan irisan daun kucai. Tempe kemul sangat nikmat dinikmati di tengah dinginnya udara Dieng.
Dieng sangat terkenal dengan manisan carica, buah yang hampir menyerupai pepaya namun berukuran lebih kecil. Konon tanaman carica adalah tanaman khas Dieng yang hanya bisa ditanam di Dataran Tinggi Dieng. Menurut cerita jika carica ditanam di tempat lain yang akan tumbuh adalah pepaya biasa.
Masyarakat Dieng mengolah buah carica menjadi berbgai olahan seperti sirup, selai, dan manisan. Setiap wisatawan yang berkunjung ke Dieng menjadikan carica sebagai oleh-oleh dan buah tangan untuk keluarga tercinta di rumah.
Sangat
dianjurkan untuk membeli dalam bentuk paket wisata dari agent tour jika berniat
mengunjungi pagelaran DCF X, karena akan sangat merepotkan jika kamu membelinya
secara mandiri lansung dari pihak panitia. Selain sangat sulit juga belum
termasuk dengan fasilitas penunjang lain seperti penginapan dan makanan. Tiket
untuk acara DCF X memang belum secara resmi dirilis, namun kini sudah banyak
agent tour travel yang menjual beberapa paket wisata Dieng Culture Festival X
tahun 2019. Paket wisata ini sudah mencakup tiket DCF X, transportasi,
penginapan, makan, dan tiket beberapa destinasi wisata Dieng.
Jangan lewatkan untuk menjadi bagian dari satu dekade Dieng Culture Festival. Pesan tiket presale sekarang harga jauh lebih terjangkau daripada harga normal. Kamu bisa memilih terlebih dahulu memilih paket wisata yang cocok di halamanMarketplace Phinemo.com.