Sebenarnya, saya bukan penikmat kopi. Kopi selalu berhasil membuat jantung berdebar-debar, mual dan diakhiri dengan tidak bisa tidur semalaman. Cukup buruk ekpekstasi awal saya tentangnya. Hal ini membuat saya memutuskan untuk menghindari mengkonsumsi kopi dalam bentuk apapun. Itu semua sebelum saya ke Wae Rebo.
***
Rasanya sudah bertahun-tahun sejak terakhir saya mencicipi kopi hingga hari ini. Saya baru saja tiba di Wae Rebo, sebuah perkampungan di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur setelah berjalan kaki sepanjang 8-9km dengan medan yang cukup menguras emosi dan energi. Desa yang terletak di ketinggian 1200 mdpl ini terkenal dengan arsitektur rumah adat unik yang menjadi daya tarik utama tempat ini. Tapi apa daya, baru selesai upacara penerimaan tamu di Mbaru Niang utama, hujan deras mengguyur atap-atap ijuk rumah berbentuk kerucut ini. Hilang sudah keinginan saya untuk berkeliling desa untuk berinteraksi dengan masyarakat kampung. Bosan duduk bengong di Mbaru Niang yang khusus diperuntukkan untuk tamu ini, saya diajak Timo, pemandu lokal saya dari Desa Denge untuk berkunjung ke salah satu Mbaru Niang milik masyakarat untuk minum kopi bersama ketua adat Wae Rebo. Dengan lari-lari kecil menghindari hujan, saya bertamu di Mbaru Niang persis disebelah kanan dari Mbaru Niang tempat saya akan menginap malam ini.
Tiba dipintu masuk, aroma kopi menyeruak masuk indera penciuman saya. Rupanya Mbaru Niang yang berisikan 7 kepala keluarga ini sedang menikmati sore mereka dengan menjaring air panas untuk menyeduh kopi untuk para anggota keluarga. Dapur nya memang terletak di tengah rumah dengan tungku masak sederhana yang dikelilingi oleh beberapa orang masyakarat yang sedang bertukar cerita. Dengan terbuka mereka mempersilakan masuk untuk ikut bergabung.
Masyarakat Wae Rebo dan kopi
Pembicaraan sore itu dibuka dengan ajakan untuk menikmati kopi dan diakhiri dengan cerita panjang tentang Wae Rebo, salah satu topik utamanya: kopi.
Sambil menunggu kopi saya disiapkan, sang ketua adat mulai bercerita dan membanggakan kopi khas Wae Rebo. Sumber penghasilan utama masyarakat Wae Rebo tergantung sepenuhnya pada kopi. Konsumsi kopi di Wae Rebo juga sangat tinggi, satu orang dewasa biasa menghabiskan rata-rata 8-10 gelas kopi per hari nya! Saya membayangkan mungkin mereka minum kopi layaknya minum air putih saja. Disekeliling desa memang banyak terdapat perkebunan kopi milik masyarakat yang hasinya sebagian dikonsumsi sendiri dan sebagiannya lagi dijual di pasar di Denge setiap hari Senin yang uangnya mereka belikan bahan makanan lainnya.
Tidak hanya tentang kopi, beliau juga menceritakan kisah asal muasal Wae Rebo yang ternyata berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat yang kemudian diselamatkan dari peperangan oleh seekor musang dan akhirnya menemukan lokasi dimana Wae Rebo sekarang berada ini. Wae Rebo sendiri dikelilingi 7 bukit yang menggambarkan 7 roh leluhur yang senantiasa melindungi desa ini. Sedikit petuah dari Ketua Adat untuk selalu menghormati leluhur karena bagaimanapun kita ada karena jasa leluhur yang selalu menjaga generasi-generasi mereka selanjutnya.
Cerita berlanjut dengan canda tawa oleh beberapa anggota keluarga yang tinggal disitu tentang banyak hal mulai dari asal usul kucing liar yang ada di Wae Rebo, tentang bagaimana mereka dulunya menganggap nasi adalah makanan mewah, bagaimana kenakalan mereka masa kecil dengan memanjat Mbaru Niang untuk mencuri makanan, dan bagaimana mereka belajar bahasa inggris dengan para wisatawan asing. Sesekali saya tertawa kecil mendengar cerita beliau. Saya menjadi semakin percaya bahwa masyarakat di bagian Indonesia Timur lebih tinggi sense of humor dan lebih santai dalam menghadapi hidup.
Gelak tawa saya belum juga reda ketika segelas kopi disodorkan dihadapan saya bersama sepiring ubi goreng. Agak ragu untuk meminum kopi pada saat se-sore ini tapi hati saya berkata lain untuk ikut bersama berbaur dengan masyarakat Wae Rebo dalam menikmati kopi.
Tegukan pertama, saya diam. Perut saya terasa hangat. ‘Hei, ini tak begitu buruk!’ Pikir saya.
Jujur saja saya tidak tahu perbedaan rasa antara kopi enak, kopi mahal atau kopi terbaik itu seperti apa, tapi bagi saya ini adalah segelas kopi paling mewah yang pernah saya minum, disajikan di gelas kaca sederhana, duduk bersila dan bincang-bincang sore. Saya tidak membayar se-sen pun, tapi justru itulah yang membuat segelas kopi Wae Rebo ini tidak ternilai harganya.
Disini saya menikmati kopi tidak hanya dengan aroma khas kopi namun juga aroma kekeluargaan yang sangat kental. Saya adalah orang asing yang baru tiba beberapa jam yang lalu di desa ini, tapi sudah dipelakukan hangat selayaknya keluarga, hal mahal bagi saya si penghuni Jakarta.
Beberapa menit larut dalam perasaan sentimental dalam segelas kopi tiba-tiba pipi saya terasa panas, ternyata sinar matahari masuk kedalam rumah melalui jendela dan tepat mengenai wajah saya. Itu artinya hujan telah berhenti. Dikejauhan terdengar mesin-mesin penggiling kopi yang mulai dihidupkan. Tiba-tiba saya diajak untuk melihat proses menggilingan kopi oleh Sang Ketua Adat. Saya yang sama sekali buta tentang kopi bersemangat menanggapi ajakan tersebut.
Saya dijelaskan banyak tentang Kopi Wae Rebo. Ternyata ada 2 jenis kopi utama yang tumbuh di Wae Rebo yaitu Robusta yang biasanya tumbuh diatas ketinggian 1000 mdpl dan ada juga kopi Arabika yang hidup di 1500 mdpl. Beda kedua kopi tersebut terdapat dari ciri rasa yang dihasilkan dan bentuk buahnya.
Ketua adat membawa saya ke belakang salah satu rumah yang ternyata merupakan tempat penggilingan kopi. Proses pembuatan kopi di Wae Rebo yang masih tradisional dan jauh dari bahan kimia. Ada satu hal yang menjadi pengetahuan besar saya saat itu, selama ini saya mengira bahwa buah kopi itu berwarna coklat seperti yang biasa saya lihat di coffee shop, ternyata salah besar! Buah kopi dari tanaman kopi ternyata berwarna merah menyala, jauh sekali dari warna yang dihasilkan di segelas kopi. Buah-buah kopi ini kemudian digiling dengan menggunakan mesin giling sederhana agar kulit kopi terlepas dari bijinya. Proses menggilingnya dengan cara memasukkan buah kopi kemudian ditambahkan air agar kulit lebih mudah terlepas. Biji kopi yang berwarna putih kecoklatan dan berlendir ini kemudiandijemur untuk dikeringkan. Proses pengeringannya mengandalkan panas matahari selama 1-2 hari. Jika hari sedang hujan seperti hari ini, tentu akan perlu waktu lebih lama lagi. Biji kopi kemudian akan disangrai atau dipanaskan diatas kuali besar tanpa minyak, jika dirasa masih belum cukup kering, maka akan dijemur kembali. Penumbukan biji kopi menjadi bubuk kopi pun dilakukan dengan cara yang tradisional menggunaan alu dan lesung oleh ibu-ibu Wae Rebo. Mendengar semua itu saya tertegun, ternyata ada perjalanan panjang dari buah kopi menjadi secangkir kopi untuk dinikmati.
Melihat saya yang bengong terkesima mendengar proses pembuatan kopi Wae Rebo, sang ketua Adat mengajak saya kembali ke Mbaru Niang untuk minum kopi lagi. Tanpa pikir panjang, saya mengangguk sambil nyengir bahagia. Tidak peduli lagi deh akan melek hingga pagi. Saya bahagia sudah menjadi bagian dari keluarga Wae rebo.
Travel is the only thing you buy that makes you richer
***
Baca juga pengalaman Vivi Suciana di Wae Rebo, sekelompok masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat yang tinggal di rumah beratap ijuk kerucut
Artikel ini merupakan bagian dari program Bingkai Negeri #1 yang membahas perjalanan dan kopi. Cerita lain tentang kopi dalam program ini dapat kamu lihat dihalaman Serangkai Cerita Tentang Kopi.