Kahiyang Ayu, putri Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo akan menikah dengan Bobby Nasution pada Rabu, 8 November di Solo.
Pernikahan Kahiyang Ayu disebut menggunakan adat tradisional Solo, lebih tepatnya Jawa Klasik. Dalam prosesi pernikahan tersebut, ada yang namanya budaya Busana Basahan. Busana Basahan tersebut berarti bahwa Kahiyang akan menggunakan pakaian adat kebesaran Solo.
Selain Busana Basahan, pernikahan Kahiyang juga menggunakan budaya Gending Langka. Gending Langka adalah sebuah musik Jawa klasik yang dimainkan menggunakan gamelan untuk mengiringi prosesi pernikahan.
Ketahui festival gamelan akbar di kota Solo dengan klik di sini.
Di luar perbincangan hangat mengenai pernikahan Kahiyang Ayu, Solo sudah lama dikenal dengan budaya Jawanya yang sangat kental. Berbagai macam jenis budaya ada di sana, dan merasuk ke berbagai lini aktivitas masyarakat, seperti pernikahan, keagamaan, dan ritual tradisional. Tak salah mereka mengusung slogan ‘The Spirit of Java’.
Bagi Kamu yang tinggal di Solo ataupun disekitarnya, mungkin sudah tak asing dengan budaya-budaya yang ada di sana. Namun bagi Kamu berasal dari luar Jawa Tengah, yang belum mengerti dengan jelas budaya apa saja yang dimiliki Solo, jangan khawatir kami akan mengulas tentang beberapa kebudayaan Solo:
Perayaan yang dilakukan setiap bulan Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dan khusus pada tanggal 12 Maulud, akan diadakan beberapa rangkaian acara yang disebut Grebeg Maulud. Rangkaian Grebeg Maulud meliputi:
Meski terkenal dengan Islamnya yang kuat, tapi ternyata Solo masih menjunjung tinggi sikap toleransi. Buktinya , masyarakat Solo masih merayakan Grebeg Sudiro. Sebuah perayaan yang diadakan untuk memperingati Tahun Baru Imlek dengan perpaduan budaya Tionghoa-Jawa.
Ketahui festival Imlek di seluruh Indonesia dengan klik di sini.
Festival ini dimulai sejak 2007 lalu dan biasanya dipusatkan di daerah Pasar Gedhe dan Balong, serta Balai Kota Solo juga ikut menjadi pusat perayaan Imlek ini.
Merupakan sebuah ritual untuk mengirimkan doa kepada para arwah leuhur dan ahli waris yang sudah meninggal duniayang diadakan setiap bulan Ruwah atau setiap menjelang bulan puasa Ramadhan. Yang paling utama adalah pembacaan doa Yasin dan tahlil zikir bersama.
Uniknya, semua masyarakat datang berbondong-bondong untuk mengikuti upacara adat ini untuk bersilaturahmi dan menjalin persaudaraan dengan saling mengunjungi rumah per rumah. Maksud dan tujuan lainnya yaitu ikut mencari berkah kepada para leluhur yang telah meninggal dunia.
Kuatnya nilai-nilai tradisi pada masyarakat yang masih menjalankan didasari oleh keyakinan bahwa setelah upacara tradisional Sadranan dilaksanakan, maka dalam bekerja untuk mencari nafkah akan diberikan kelancaran dan kemudahan.
Sebuah acara untuk merayakan tahun baru 1 Suro berupa keliling kota sejauh 3 km. Pusaka-pusaka yang dianggap memiliki kekuatan magis dibawa oleh para abdi dalem yang berbusana Jawa Jangkep. Kirab yang berada di depan adalah sekelompok Kebo Bule bernama Kyai Slamet, sedangkan barisan para pembawa pusaka berada di belakangnya. Acara ini diselenggarakan oleh Keraton Surakarta dan Puro Mangkunegaran yang dilaksanakan pada malam hari menjelang tanggal 1 Suro.
Sebuah tari yang disakralkan dan hanya digelar dalam setahun sekali. Konon, di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram.
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih halus dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi.
Dikatakan Tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.