Hukum Merayakan Maulid Nabi dengan Tradisi Sekaten, Haram?

Lalu bagaimana hukum Sekaten, tradisi merayakan Maulid Nabi di Solo dan Jogja yang dalam praktiknya sangat kental dengan berbagai adat tradisi Jawa?

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Beberapa waktu yang lalu, seluruh muslim di dunia merayakan sukacita kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan Maulid Nabi. Di Indonesia, Maulid Nabi dirayakan sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat, diantaranya yaitu Grebeg Maulud atau Sekaten di Solo dan Jogja, Panjang Jimat di Cirebon, serta Endog-endogan di Banyuwangi.

Di antara semua tradisi Maulid Nabi di Indonesia, Sekaten menjadi yang paling terkenal dan dinanti-nantikan. Sekaten merupakan tradisi tahunan dari Kasunanan Surakarta di Solo dan Kesultanan Yogyakarta di Jogja. Bagi masyarakat Solo dan Jogja, acara Sekaten dimaknai sebagai sarana hiburan yang menunjukkan identitas kearifan lokal daerah setempat.

Sekaten bukan sekadar prosesi arak-arakan gunungan hasil bumi saja, namun juga rangkaian hajad dalem lainnya, meliputi Miyos Gangsa dan Kondur Gangsa. Miyos Gangsa adalah prosesi keluarnya gamelan Sekati Kyai Gunturmadu dan Kyai Ngawilaga menuju Masjid Gede Kauman, sedangkan Kondur Gangsa yaitu prosesi pengembaliannya ke Ponconiti.

Perayaan Sekaten di Kasunana Surakarta (wikipedia.org)

Hukum Maulid Nabi

Seperti diketahui, beberapa ulama silang berpendapat terkait hukum dari merayakan Maulid Nabi. Meskipun Maulid Nabi dirayakan dengan meriah di Indonesia, Arab Saudi justru malah mengharamkannya. Berbeda dengan Indonesia, Kerajaan Arab Saudi menganut paham wahabi atau Salafi yang sensitif dengan segala sesuatu yang berpotensi menjadi kesyirikan.

Arab Saudi dan Qatar adalah dua negara Islam terbesar di Timur Tengah yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi karena dianggap bid’ah, tidak memiliki landasan hukum yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Ajaran Wahabi merupakan paham untuk kembali kepada monoteisme murni dari Al-Qur’an dan Hadits, bebas dari segala jenis bid’ah, syirik, dan khufarat.

Muslim di Indonesia sebagian besar merayakan Maulid Nabi. Menurut Kiai Said dari Nahdlatul Ulama (NU), Maulid Nabi merupakan sunah taqririyyah yaitu perkataan, perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW, tapi dibenarkan oleh beliau. Memuji serta mengagungkan Nabi Muhammad SAW termasuk dalam sunnah taqririyyah karena tidak pernah dilarang.

Lalu bagaimana dengan Sekaten, perayaan Maulid Nabi di Solo dan Jogja yang dalam praktiknya sangat kental dengan berbagai adat tradisi Jawa?

Perayaan Sekaten di Kesultanan Yogyakarta (pesonaindonesia.kompas.com)

Hukum Merayakan Sekaten

Sebagian ulama mengkritik peringatan Maulid Nabi yang dalam praktiknya mengandung unsur hiburan, seperti rebana, nasyid, senda gurau, atau hal-hal lain yang tidak jelas manfaatnya. Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqani menjelaskan perayaan Maulid Nabi seyogyanya diisi oleh kegiatan yang jelas-jelas dianjurkan oleh syariat, seperti Maulid Barzanji dan bersedekah.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kiai Hasyim Asyari, ulama besar pakar Hadits yang juga pendiri NU. Beliau melarang jika perayaan Maulid Nabi diisi dengan hal-hal yang jelas haram, seperti campur baur antara laki-laki dan perempuan, berjoget, dan berbuat kegaduhan di masjid. Membumbui Maulid Nabi dengan hal-hal mubah seperti rebana dan nasyid tak dilarang.

Grebeg Maulid atau Sekaten sudah ada sejak Kerajaan Demak berdiri, dan terus dilestarikan oleh generasi-generasi keraton pewarisnya, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Grebeg Maulid adalah bentuk dari akulturasi budaya yang diupayakan oleh para wali agar Islam bisa diterima dengan baik. Semua prosesi sebenarnya sudah sesuai dengan syariat Islam.

Kata “Sekaten” bahkan berakar dari kosa kata bahasa Arab, “Syahadatin” yang kemudian mengalami perluasan makna dengan “Suhatain”, berarti menghentikan atau menghindari dua perkara, perbuatan buruk dan menyeleweng. Makna ini berkembang lagi menjadi “Sakhatian”, yang bermakna menghilangkan dua watak, yakni watak hewan dan setan.

Prosesi arak-arakan gunungan berisi hasil bumi (republika.co.id)

Selain itu ada juga “Sakhotain” yang berarti menanamkan dua perkara, budi suci dan budi luhur. Lalu “Sekati” bermakna bahwa hidup haruslah menimbang yang baik dan buruk. Terakhir, “Sekat” adalah pembatas antara yang baik dan buruk. Akhirnya, Sekaten bukan sekadar hiburan serta prosesi upacara, tapi juga mengandung makna kehidupan.

Arak-arakan gunungan berisi hasil bumi adalah bentuk rasa syukur pada Allah SWT atas limpahan rezeki, nantinya gunungan tersebut akan dibagi kepada masyarakat sebagai wujud sedekah. Inti prosesi Miyos Gangsa dan Kondur Gangsa yakni menabuh gamelan dari pagi hingga malam dalam rangka menyemarakkan kelahiran Rasulullah. Jelas ini diperbolehkan.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU