Kurangnya informasi mengenai daerah-daerah di Papua itu adalah hal yang lumrah. Bagaimana tidak, yang diberitakan di televisi atau media-media lain selalu saja hanya tentang daerah-daerah rawan konflik ataupun suku-suku terbelakang di Papua. Padahal, Papua tak hanya tentang itu. Sangat banyak tempat-tempat indah dan aman untuk dikunjungi di sini.
Seperti apa realita yang ada di tanah papua sana? Samakah dengan yang digambarkan media? Baca ini, mitos vs fakta tentang Papua
Yang akan saya bicarakan di sini adalah salah satu dari sekian banyak pulau di Nabire, yaitu Pulau Ratewi. Pulau Ratewi atau Ratewo berada di Distrik Moora, Nabire, Papua. Butuh waktu 3 jam menuju tempat ini menggunakan perahu motor dari Pelabuhan Samabusa -Nabire.
Kala itu saya menuju Pulau Ratewi dalam rangka penelitian. Banyak hal menarik saya temui di sana, dan saya pikir harus saya bagikan, agar orang-orang tahu bahwa Papua itu tidak hanya selebar layar televisi!
Badan jalan di Pulau Ratewi tidak terbuat dari aspal, melainkan dari batako yang berwarna merah. Jadi sepanjang jalan di Pulau Ratewi semua berwarna merah. Bahan batako seperti ini biasanya ada di perkotaan seperti di pedestrian ataupun jalan-jalan di pertokoan Pasar Baru, Jakarta.
Hebatnya, meski sering disebut “daerah pelosok” oleh orang di kota besar sana, batako-batako di sepanjang jalan di sini tersusun rapi. Lingkungannya pun sangat bersih.
Bukan hanya jalannya yang rapi, susunan rumah-rumah penduduknya juga terlihat rapi. Rata-rata rumah mereka terbuat dari kayu dengan tipe rumah panggung. Selain itu, ada beberapa rumah yang dibangun setengah gedung dan setengah papan.
Saat berkunjung ke tempat saudara saya yang tinggal di Nabire, dia memberikan penjelasan perihal keheranan saya meilihat “kerapian” bangunan dan jalanan di sini.
“Memang rata-rata rumah di Kabupaten Nabire memiliki tipe seperti itu setelah gempa tahun 1996.”
Di Pulau Ratewi ini saya bertemu dengan Bapak Misiro Tua -mantan kepala kampung- yang memberi banyak pengetahuan baru bagi saya tentang Pulau Ratewi ini.
Kampung yang ada di Pulau Ratewi ini diberi nama Arui.
“Arui itu artinya mata air” tutur Bapak Misiro Tua.
Bapak Misiro Tua bertutur mengenai sejarah penduduk Pulau Ratewi. Dahulunya nenek moyang penduduk Pulau Ratewi berasal dari Pulau Moor. Mereka hidup berpindah-pindah untuk mencari sumber air tawar. Nah, akhirnya mereka menemukannya di Pulau Ratewi. Karena itulah mereka menamakan kampung ini “Arui”. Selain itu, pusat pemerintahan Distrik Moora juga berada di Pulau Ratewi.
Saat berkeliling saya amati suasana kampung terlihat sepi, hanya beberapa orang yang nampak. Tapi saat natal tiba, kampung ini akan menjadi sangat ramai! Semua anak-anak yang sekolah di Kota Nabire akan pulang kampung meramaikannya. Maklum saja sekolah yang ada di kampung ini hanya sampai Sekolah Dasar. Karena itu, mereka pun harus bersekolah di Kota Nabire.
Jangan harap bisa menelepon sambil tidur-tiduran di kasur di Pulau Ratewi ini. Kita harus mencari lokasi dan posisi tepat jika ingin bertelepon. Lokasinya berada di sudut jembatan, tempat itu biasa digunakan sebagai dermaga oleh penduduk pulau.
Jika bertelepon di sore hari, beberapa operator seluler di Indonesia mungkin biasa memberi bonus beberapa menit untuk tambahan paket nelpon, di Pulau Ratewi bonusnya adalah momen matahari terbenam yang luar biasa indah. Apalagi jika yang ditelepon adalah orang terdekatmu, seakan-akan ia pun hadir menikmati sunset itu bersamamu. Romantis bukan ? Bonus tersebut tentu tidak akan pernah diberikan oleh operator seluler manapun di dunia.
Jika kamu berkunjung ke suatu daerah, bersosialisasi adalah hal yang sangat diharuskan. Selain untuk menghargai penduduk setempat, kamu juga akan mendapatkan segudang pengetahuan baru.
Malam itu, saya dan teman-teman asyik berbincang bersama Bapak Misiro tua, Bapak Saroi, Bapak Worandorei serta beberapa penduduk lainnya.
Obrolan dimulai dari perkenalan, sejarah kampung, sampai dengan kebiasaan yang ada di Arui.
Pernah terbayang tinggal berminggu-minggu di Raja Ampat menjadi seorang relawan pengajar? Baca ini, cerita inspiratif seorang wnaita muda yang menjadi relawan di Raja Ampat
“Urau (kacang merah) adalah makanan pokok di kampung Arui”, kata Pak Saroi. Ia juga menjelaskan bahwa urau adalah “kacang adat”, jadi setiap acara adat dilakukan, urau harus ada. Biasanya urau dimasak dengan daun genemo (melinjo), kelapa dan sagu yang dihidangkan dengan ikan bakar. Wah pasti sangat lezat! Andai saja saat itu ada pelaksanaan acara adat, pastinya saya sudah menikmati kelezatan urau si “kacang adat”.
Ada satu hal menarik yang saya temukan kala berkeliling pulau ini. Saya menyaksikan pertunjukan tari atraktif para penghuni jembatan. Dan tahukah kamu siapa penghuni jembatan itu?Penghuni jembatan di Pulau ratewi adalah segerombolan ikan sejenis sarden. Gerombolan ikan yang terlihat berwarna hitam pada kejernihan air laut bawah jembatan nampak tengah asyik berenang ke sana kemari. Kadang kala mereka berputar-putar membuat sebuah lingkaran, kadang-kadang membentuk sebuah garis lurus. Gerakan mereka sangat seirama, layaknya sebuah kelompok tari berpengalaman yang terlatih.
Yang membuat ramai adalah ketika Ikan Bubara datang menyerang barisan mereka. Barisan itu langsung terbelah menjadi 2 dan akan menyatu lagi saat ikan pemangsa itu telah melewati mereka. Kejadian ini terjadi berulang sehinga air terdengar gemericik ramai akibat gerakan mereka.
Pemandangan itu baru pertama kali saya lihat langsung dari atas permukaan air dan bukan di dalam air, karena saking jernihnya air laut di tempat ini.
Penduduk di Kampung Arui sangat menjaga laut mereka. Mereka tidak mengambil ikan secara berlebihan. Seperti saat itu, kala saya dan teman saya ingin meminjam jaring dari dua anak yang sedang memancing. Dari atas perahu kecil mereka menjawab, “Ikan-ikan ini tidak boleh dijaring om, mereka itu penghuni jembatan. Kalau mau, dipancing saja!” Saya tersenyum mendengarnya. Bahkan anak kecil pun sadar pentingnya menjaga lingkungan.
Jayapura, Papua memiliki sangat banyak hal menarik yang tak banyak diketahui orang. Apa saja itu? Baca di sini!
Bukan hanya ikan-ikan saja yang ada di bawah jembatan. Bia garu atau Kerang Kima juga terkumpul di sana. Hal itu saya ketahui saat sedang snorkeling di kawasan itu. Mulanya saya kira itu hanyalah cangkang. Tapi ternyata kerang-kerang kima itu masih hidup! Mereka berwarna warni dan sangat menarik untuk dilihat. Bia garu itu sengaja dikumpulkan oleh penduduk, selain memperindah suasana pantai, bia garu itu juga sesekali digunakan untuk acara-acara tertentu.
Di Pulau Ratewi, transportasi yang lazim digunakan adalah perahu. Pak Misiro muda (Kepala Desa Arui) juga memilikinya. Jika ada urusan ke Kota Nabire, perahu menjadi andalannya.
Uniknya, pada dinding perahunya ada tulisan “tojo” (bahasa moor) yang berarti“kosong”.
Tojo jadi populer saat kami bekerja di lapangan bersama Pak Misiro muda. Saat kami tidak menemukan biota laut yang kami cari di pasir, maka saya langsung berteriak “tojo!” dan kami segera berpindah ke tempat lainnya diiringi gelak tawa untuk melepaskan penat yang ada.
Kata “tojo” selalu terngiang di ingatan. Ketika kami berpamitan untuk berpindah ke Pulau Mamboor, saya pun melambaikan tangan kepada masyarakat Arui sambil berkata “tojo!”
Pak Misiro muda tertawa terbahak-bahak dan berseru,”Kalau mau pergi itu ‘tabea’ (selamat jalan) bukan ‘tojo’!”
***
“Tabea Pulau Ratewi, walau 2 hari saja berkunjung, saya tahu ternyata kamu tidak tojo.”