Ritual Sati berkembang melalui tradisi Hindu kuno di mana seorang janda akan membakar dirinya sampai mati di tumpukan kayu suaminya.
Ritual ini awalnya adalah tindakan sukarela yang dianggap cukup berani dan heroik, tetapi kemudian menjadi praktik paksa.
Meskipun ritual sati sekarang dilarang di seluruh India dan tidak lagi dipraktikkan, ia memiliki sejarah gelap yang melenceng jauh dari muara esensinya.
Ketika seorang bangsawan atau pemimpin tertinggi meregang jiwa, selir dan para pelayan yang paling setia bersumpah: “Dalam kematian kami akan ikut denganmu.”
Lalu upacara kremasi pun digelar. Bangunan tinggi dari kayu didirikan. Tumpukan kayu bakar diletakkan. Peti mati dimasukkan saat api mulai membesar.
Ketika api berkobar-kobar, selir bersama dua atau tiga pelayan yang telah bersumpah mulai naik ke atas bangunan, menari dan berkeliling, menunggu waktu yang tepat, lalu melemparkan diri ke kobaran api dan terbakar bersama junjungan mereka.
Deskripsi tersebut dicatat Ma Huan, anggota ekpedisi Cheng Ho ke Jawa antara 1413 dan 1415. Ma Huan mengunjungi Majapahit dan menyaksikan upacara kremasi tersebut.
Ritual pengorbanan diri perempuan atau ritual sati bukan hanya dilakukan di Jawa tapi juga Bali. Ia juga dilakukan di banyak kebudayaan, terutama India. Di India, ia dikenal dengan sebutan sati.
‘Sati’ berarti seorang wanita yang melakukan tindakan membakar diri setelah suaminya meninggal. Kata ini berasal dari kata Sansekerta ‘asti’, yang berarti ‘dia murni atau benar’.
Dalam istilah mitologis, Sati adalah nama istri Dewa Siwa. Ayahnya tidak pernah menghormati Siwa dan sering membencinya. Untuk memprotes kebencian yang ayahnya pegang untuk suaminya, dia membakar dirinya sendiri.
Ketika dia terbakar, dia berdoa untuk dilahirkan kembali sebagai istri Siwa lagi. Ini memang terjadi, dan inkarnasi barunya disebut Parvati.
Ritual sati ini kemudian justru menjadi alasan bagi praktik paksa pembakaran janda, atau perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya.
Tak hanya mencederai kemanusiaan, praktik ini juga melanggengkan budaya patriarki yang akhirnya menstigmakan bahwa perempuan harus ´patuh´ di hadapan lelaki dan dan suaminya, bahkan harus turut serta hingga ke liang lahat.
Pelencengan dari esensi ritual sati ini juga membangun stigma bahwa seorang ´janda´ adalah beban, dan tak akan dapat berbuat apa-apa bila sang suami telah pergi meninggalkannya. Maka satu-satiunya jalan adalah kematian.
Padahal ritual sati memiliki esensi tersendiri bergantung darimana konteks kita memaknainya. Dalam konteks suami-istri, satya wacana (benar dan setia, satu dari lima satya dalam ajaran Hindu) diucapkan mempelai perempuan kepada mempelai pria saat upacara pernikahan di hadapan api sebagai manifestasi Hyang Agni.
Dengan sumpah itu, sang perempuan bersungguh-sungguh menerima swami (suami) sebagai guru atau dewa. Tak heran bila praktik sati dimuliakan sebagai simbol kesetiaan tertinggi.
Namun ketika esensi tersebut telah tercerabut dari akar permasalahannya, maka ritual sati tak lagi merupa sisi histori dan kultural yang baik dipelajari, melainkan justru merupa praktik paksa yang kini telah dikecam dan dilarang sejak ribuan tahun yang lalu.