Seni tradisi merupakan salah satu kekayaan kultur yang dimiliki oleh Indonesia, salah satunya adalah seni tradisi lintas gender.
Kesenian lintas gender sebetulnya bukan hal asing di banyak tempat. Masyarakat Jepang, misalnya, mengenal seni drama Kabuki. Drama ini menghadirkan pemain yang seluruhnya laki-laki.
Kabuki yang berawal sebagai tarian berdurasi pendek lambat laun berubah menjadi kombinasi drama dan tari. Kabuki ini dulunya merupakan hiburan para pedagang, namun kini dirayakan sebagai kesenian teater terbesar di dunia, bakan di setiap pementasannya, seluruh penonton wajib mengenakan Kimono.
Selain Jepang, India pun memiliki kesenian lintas gender, yakni Stree Vesham, sebuah tradisi di mana laki-laki memerankan perempuan di beberapa tarian. Tari Kathakali, misalnya. Tiap pentas, wajah seniman dilukis agar nampak seperti topeng. Bibir, bulu mata, dan alis juga dilukis agar menonjolkan karakter.
Tak hanya di Jepang dan India, kesenian lintas gender pun dirayakan sebagai kesenian rakyat di berbagai belahan dunia. Mulai dari Commedia dell’arte di Eropa, Opera Yueju di Tiongkok, serta Balet Trockadero di Amerika Serikat (seluruh pemainnya laki-laki dan memerankan tokoh perempuan maupun laki-laki).
Di Indonesia, tokoh seni tradisi lintas gender (cross gender) yang paling populer adalah Didik Nini Thowok. Dikutip Tirto, Didik menuturkan bahwa kesenian lintas gender sudah jadi tradisi di Indonesia sejak dulu. Coraknya banyak, mulai dari Pawestren (Jawa Timur), Tari Bebancihan (Bali), Bissu (Sulawesi Selatan), hingga Randai (Padang, Sumatera Barat).
Sebelum abad 20, terang Didik, seluruh pemain kesenian ketoprak adalah laki-laki. Menempatkan laki-laki pada seluruh peran dalam ketoprak adalah bentuk penghormatan kepada perempuan.
Tak hanya Wayang Orang dan Ketoprak, masyarakat Padang, Sumatera Barat, juga mempraktikkan kesenian lintas gender yang dikenal sebagai Randai atau Ronggeng. Dalam drama tari Randai, karakter wanita diperankan oleh laki-laki.
Jawa Barat pun akrab dengan kesenian cross gender, yakni tari topeng. Mayoritas penarinya adalah perempuan yang membawakan lakon laki-laki. Tarian ini memiliki berbagai aneka ragam gaya yang berbeda antara satu tempat dengan yang lainnya.
Di kekinian, sayangnya seni tradisi, terlebih seni tradisi lintas gender kian jauh dari pandangan masyarakat Indonesia sendiri. Perkembangan seni ini justru kian tereduksi oleh regulasi-regulasi tak penting dan justru berbuntut pada gagalnya paham kita tentang kesenian.
Didik mengungkapkan bahwa perkembangan kesenian lintas gender saat ini mengalami kemunduran. Salah satu penyebabnya adalah sensor.
Ia mengambil contoh ketika Komisi Penyiaran Indonesia melarang penggambaran laki-laki berpenampilan perempuan di layar kaca pada 2016 silam. Namun, akhirnya KPI merevisi aturan itu dan memberikan pengecualian kepada kesenian tradisional.
“Tayangan lintas gender saat ini lebih bisa diterima masyarakat dalam bentuk komedi, sehingga seninya jadi kabur. Padahal sebenarnya kesenian lintas gender adalah skill yang harus dipelajari,” tutur Didik.
Menurut Didik, hanya Pulau Bali yang memiliki perhatian khusus terhadap kesenian lintas gender, terbukti dari banyaknya pertunjukan seperti Sekar Gong Kebyar Wanita (grup karawitan Bali tradisional wanita), Topeng Wanita, kecak Wanita, Arja Muani, dan Gambuh Muani.
“Kita kurang belajar sejarah. Seharusnya pemerintah memberikan edukasi kepada masyarakat, kalau seni itu nggak masalah,” jelas Didik.