“Di Solo memangnya ada apa sih, Thi?” pertanyaan yang sering terlontar dari teman serta keluarga saya ketika saya merencanakan perjalanan liburan.
Beberapa kali pula saya batalkan niatan ke Solo karena kota ini memang tidak dikenal sebagai sebuah kota wisata seperti Yogyakarta, Malang, Bali, atau kota wisata lainnya. Namun Solo berhasil membuat saya penasaran dan akhirnya masuk ke rencana perjalanan saya kali ini.
Saya berangkat menuju Solo dari Stasiun Maguwo, Yogyakarta, dengan menggunakan kereta Prambanan Ekspres atau Prameks dengan ongkos Rp 8.000,- . Agak salah sebenarnya naik dari stasiun ini, karena kursi sudah terisi penuh sehingga saya harus berdiri selama kurang lebih satu jam. Berhenti di Stasiun Solo Balapan, teman kuliah saya yang memang berasal dari Solo sudah siap menjemput dengan motornya. Ini memang salah satu taktik saya ketika traveling untuk bertemu teman atau kerabat yang tinggal di kota tujuan agar lebih hemat.
Berkeliling Kota Solo akhirnya membuat saya berhenti di stadion Manahan yang nampak ramai oleh warga Solo. Sebagian besar adalah anak muda yang bermain in-line skate. Selain itu sekitar parkiran stadion juga sering diadakan beberapa perlombaan. Seperti saat saya datang berkunjung sore itu, saya cukup beruntung menyaksikan gelaran roadrace.
Cukup bisa menjadi hiburan penghilang suntuk sambil menikmati jajanan yang dijajakan para pedagang kaki lima di sekitar stadion.
Mencari tempat untu menikmati momen matahari terbenam di Solo, teman saya merekomendasikan sebuah jalan tol yang pembangunannya belum selesai dan memang sering dipakai warga sekitar untuk berfoto atau sekadar bercengkrama.
Saya mendapat pengalaman yang menyenangkan dengan duduk di ujung jalan tol sambil menikmati semburat merah cahaya senja.
Di kaki gunung Lawu terdapat beberapa spot wisata yang indah, seperti misal Kompleks Candi Cetho dengan berbagai reliefnya yang unik, dimana tempat ini tersambung dengan Puri Sarasvati yang memiliki kolam air mancur dengan banyak koin di dalamnya. Selain itu ada juga asrinya lokasi air terjun Jumog.
Mungkin karena hari itu hari Senin, Candi Cetho dapat saya nikmati dengan puas dan tenang karena hanya ada dua turis lain di sana. Begitu pula saat saya pergi ke air terjun Jumog, tempat wisata ini terlihat sepi dan masih sangat bersih dengan hanya sedikit warung di sekitarnya. Tempat-tempat tersebut cocok jika kamu ingin menyepi sejenak dari keramaian. Datanglah di luar hari libur.
Baca juga, cerita tentang seorang pendaki yang menemukan banyak pengalaman berharga saat mendaki seorang diri di Gunung Lawu
Museum Lokananta, adalah sebuah museum rekaman tertua dan mungkin satu-satunya di Indonesia yang juga telah berjasa merekam pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Museum ini terlihat sangat sepi dari luar namun begitu masuk kami segera disambut pengurus museum yang segera merangkap menjadi pemandu.
Berkeliling melihat alat-alat rekam manual, studio rekaman Lokananta, ruang koleksi piringan hitam, tempat pembuatan kaset, serta tempat perawatan dan koleksi khusus piringan hitam ternyata cukup mengasyikkan.
Baca ini, artikel tentang tipe-tipe pengunjung museum yang ditulis langsung oleh seorang petugas museum di Surabaya!
Saya menutup perjalanan saya di Solo dengan menonton kerumunan menjangan di Taman Balekambang sembari menunggu bus menuju Jember, tujuan saya berikutnya. Suasana taman ini masih begitu alami dna asri, juga menjadi salah satu tempat favorit pelancong di Solo.
***
Solo memang bukan sebuah kota wisata, tapi seharusnya saya ingat dari beberapa perjalanan sebelumnya kalau Indonesia itu memang indah dan unik di setiap sudutnya. Jadi semua kembali pada bagaimana kita menikmati perjalanan itu.