Tentang Tuk Tuk, Wi-Fi, dan Lelaki Penggerutu

Tuk Tuk di Samosir terus mempercantik diri. Selalu ada cerita menarik di sana, salah satunya tentang Wi-Fi dan lelaki penggerutu.

SHARE :

Ditulis Oleh: Ester Pandiangan

Nikmatnya menyesap kopi Sumatera di Tuk Tuk. Foto oleh Ester Pandiangan

Tak ada yang lebih nikmat selain menyeruput kopi favorit di tempat favorit pula. Sewaktu masih tinggal di Medan, saya sering menyempatkan waktu weekend untuk “lari” sejenak menyepi di Tuk Tuk, Samosir. Terakhir saya datang, awal tahun 2012 bersama orang yang dulu sempat saya sayangi. Dia bukan penduduk asli Medan dan waktu itu saya dengan bangga mengajaknya untuk menyepi di tempat favorit saya, Tuk Tuk.

Sedih, karena di sana reaksi dia tidak seperti yang saya harapkan. Ada banyak gerutuan dan komentar seadanya kalau Tuk Tuk tidak “se-wow” seperti yang saya katakan. Ajakan untuk tinggal selamanya di desa wisata ini pun—ya saya memang sedikit norak dulu—disambutnya dengan tawa cemooh, “Ada Wi-fi nggak?”Buatnya terhubung dengan dunia luar itu sangat penting, untuk dia yang meyakini punya andil bakal membuat “perubahan” besar di dunia.

Namun, meski merasa Tuk Tuk kurang sempurna, tetap saja dia berusaha mencari sisi eksotis dari Tuk Tuk. Profesinya sebagai fotografer memang membuat jalan bersamanya selalu berasa seperti sedang bekerja.

Kami pun ke Peabang untuk memotret Danau Toba dari ketinggian supaya panoramanya tertangkap sempurna—jadi bukan tujuan romantika. Kemudian Pantai Parbaba, melihat aktivitas inang-inang (ibu dalam bahasa Batak) mencuci baju di pantai pasir putih tersebut yang menurut dia kaya akan human interest,  hunting foto kapal feri saat menyeberang dari Parapat ke Tomok dengan bingkai senja, karena katanya dulu dia pernah dapat foto yang bagus sekali dan ingin mengulangnya. Bersamanya, perjalanan ke tempat favorit menjadi tidak istimewa. Dan memori yang saya peroleh jadi tak maksimal, malah mengotori kenangan sebelumnya.

Pemandangan dari Peabang. Foto oleh Ester Pandiangan

Tiga tahun berselang, saya datang kembali ke Tuk Tuk—tentu saja tidak bersama laki-laki penggerutu itu. Ada banyak perubahan namun ada juga hal-hal yang masih sama seperti dulu. Perubahannya, Tuk Tuk sudah semakin membangun diri. Hampir semua penginapan, hotel di Tuk Tuk melakukan renovasi. Sebut saja, Samosir Cottages, Tabo Cottages, Marysca dan banyak yang lainnya.  Samosir Cottages saja sedang melengkapi propertinya dengan membangun kolam renang yang konon paling besar di Samosir.

Penerangan di jalan seputaran Tuk Tuk juga semakin memadai, kalau dulu luar biasa gelap, bahkan kami dibekali senter oleh penginapan bila mau jalan di luar penginapan. Walaupun kondisinya demikian, keamanannya terjamin. Sebagai tempat wisata yang roda ekonominya diputar oleh turis, tentu saja keselamatan menjadi sesuatu yang wajib dijaga.

Fasilitas Wi-Fi juga hampir rata-rata dimiliki oleh semua penginapan, restoran di seputaran Tuk Tuk. Padahal dulu, Tuk Tuk dikenal sebagai tempat untuk menyepi dan menenangkan diri—putus dengan modernitas. Makanya beberapa penginapan “mengharamkan” televisi serta atribut-atribut kekotaan lainnya.

Kini, maksud memang ingin menyepi namun WiFi tetap menjadi salah satu syarat juga. Padahal bagaimana ceritanya mau menyepi kalau masih terhubung dengan dunia luar? Tapi, begitulah kondisi sekarang dimana kebutuhan internet hampir sama dengan makan nasi. Mau tak mau industri perhotelan pun memfasilitasi diri dengan internet dan lain-lainnya itu.

Tabo Cottages salah satu penginapan favorit turis asing di Tuk Tuk. Foto oleh Ester Pandiangan

Bahkan salah satu penginapan di Tuk Tuk yang sejak awal memperkenalkan diri sebagai tempat yang tenang sekalipun, sudah mulai berkompromi dengan melengkapi diri dengan fasilitas internet, menerima tur rombongan—walau tetap tanpa televisi. Hal-hal baru seperti inilah yang saya temui di Tuk Tuk. Menyenangkan? Tetap menyenangkan sih dan cukup takjub juga dengan fenomena-fenomena lama yang tetap saja ada yaitu percintaan antara penduduk lokal dan orang asing. Apapun motivasinya, entah itu cinta, ekonomi ataupun “merenovasi” keturunan. Bukan cerita baru lagi pernikahan antar negara berlangsung di tempat wisata dengan banyak cerita membingkainya. Ada yang awalnya jatuh cinta dengan keindahan Danau Toba kemudian bertemu penduduk setempat, membuka usaha di Tuk Tuk sampai akhirnya menetap. Bisa dibilang 50% (atau juga lebih?) penginapan di Tuk Tuk dimiliki oleh orang lokal yang menikah dengan orang asing dan justru penginapan-penginapan inilah yang jauh lebih maju ketimbang penginapan yang dimiliki oleh murni orang lokal.

Sayangnya, hidup tidak seindah dongeng Walt Disney, dimana kebahagiaan selalu jadi jaminan untuk happy ending. Ada saja cerita yang tidak berakhir bahagia. Penduduk lokal yang dimanfaatkan bule, hamil kemudian ditinggal atau menjual cinta demi mendapat kewarganegaraan dan izin membuka usaha. Perselingkuhan juga menjadi bumbu yang membuat kisah semakin ramai. Pernikahan antar negara terjadi namun si laki-laki yang penduduk lokal tak sanggup bersetia, memadu kasih dengan perempuan lokal sampai membuahkan anak namun karena terikat “pernikahan” suci akhirnya diselesaikan dengan sejumlah uang.

Cerita-cerita demikian menjadi warna dalam perjalanan saya selama menetap di desa mungil ini. Ada yang membuat saya tertawa tak sedikit yang bikin saya geleng-geleng kepala. Namun satu hal, keindahan alam Tuk Tuk sebagai desa wisata dengan pemandangan Bukit Barisan plus Danau Tobanya tetap menjadi favorit di hati saya.

Hanya enam malam saya di Tuk Tuk dan harus mengepak ransel lagi menuju tempat yang lain. Mungkin tidak perlu menunggu satu purnama untuk kembali ke sini—karena saya bukan Rangga yang suka PHP. Pastinya, saya akan merindukan segelas kopi Sumatera sembari memandang Danau Toba yang tenang—tentu saja tanpa laki-laki penggerutu itu. Tidak akan pernah ada tempat yang sempurna buat orang yang hanya memandang alam sebagai objek saja. Buat saya? Tuk Tuk selalu sempurna ada atau tanpa WiFi.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU