Suku Batak menetap di sekitar provinsi Sumatera Utara, mereka dikenal sebagai salah satu kelompok etnis terbesar di Indonesia. Masyarakatnya mudah beradaptasi dengan peradaban modern, namun tetap teguh mempertahankan nilai-nilai adat budaya leluhur. Siapa yang menyangka, Suku Batak yang identik profesi pengacara dahulu adalah etnis kanibal?
Pada tahun 1292, Marco Polo, seorang penjelajah asal Italia menuliskan pengalamannya bertemu kelompok masyarakat yang memakan manusia ketika singgah di pesisir timur Sumatera. Dalam catatannya, masyarakat kanibal tersebut dikenal dengan “Battas“. Mereka mengonsumsi kerabat yang mengalami sakit parah dan dianggap tidak dapat lagi disembuhkan.
Baca juga: Suku Batak di Filipina, Berasal dari Indonesia?
Menurut kepercayaan mereka, kerabat yang sakit parah harus dibunuh kemudian disantap seluruhnya. Apabila terdapat satu bagian tertinggal makan akan mengeluarkan cacing-cacing yang mati kelaparan. Bersama cacing tersebut, jiwa orang yang disantap dapat mendatangkan sebuah kesengsaraan serta dosa besar untuk seluruh masyarakat di sekitarnya.
Nicolo Da Conti datang ke Sumatera pada tahun 1421 untuk mengemban misi perdagangan di Asia Tenggara. Dia menuliskan kehidupan kelompok masyarakat yang disebut “Batech” di bagian dalam pulau. Mereka senang berperang, dan memakan musuh-musuh yang dikalahkan. Tujuannya untuk menyerap tondi atau roh kehidupan musuh sehingga menjadi kuat.
Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Suku Batak dan berbagai ritual-ritualnya. Berdasarkan catatan Raffles, kegiatan kanibalisme terhadap kerabat biasa dilakukan terhadap para orang tua yang dianggap terlalu tua untuk bekerja, atau terhadap para pelaku tindak kejahatan. Khusus pelaku kejahatan dimakan dalam kondisi hidup-hidup.
Mengingat diaspora Suku Batak sangat luas di tanah Sumatera, tak semua anggota etnis melakukan praktik kanibalisme. Berdasarkan catatan Nicolo Da Conti, Suku Batak kanibal tinggal di desa Huta Siallagan yang berada di pedalaman Pulau Samosir di tengah Danau Toba. Sesuai namanya, desa Huta Siallagan dibangun oleh masyarakat etnis Batak dari marga Siallagan.
Baca juga: Kebiasaan Suku Batak yang Hanya Ditemui di Sumatera Utara
Mengunjungi perkampungan ini, dapat dilihat delapan buah Rumah Bolon dengan fungsi yang berbeda-beda. Hal paling mengerikan yaitu keberadaan meja dan kursi yang dikenal Batu Persidangan. Para pelaku kejahatan akan dinyatakan bersalah dan dihukum meja ini. Hukuman paling berat adalah dipancung, selanjutnya jantung akan dimasak lalu dihidangkan untuk raja.
Pada 1890 ketika kolonial Belanda menduduki Sumatera, kanibalisme oleh Suku Batak telah dilarang. Ritual mengerikan dari Suku Batak ini bertahan hingga awal abad ke-20, dan telah jarang dilakukan sejak 1816. Para ahli menyebut, kemungkinan besar dikarenakan pengaruh agama Kristen dari bangsa Eropa. Sekarang, pratik kanibalisme telah ditinggalkan Suku Batak.