Akhir bulan lalu (31/8), Pulau Mauritius yang berada di Samudera Hindia menjadi perbincangan setelah 17 lumba-lumba ditemukan mati terdampar di pesisir pantainya. Beragam spekulasi muncul terkait dengan kematian lumba-lumba di Pulau Mauritius. Para pegiat lingkungan menyebut bahwa kematian lumba-lumba tersebut disebabkan oleh tumpahan minyak yang mencemari perairan laut Pulau Mauritius.
Pernyataan berbeda disampaikan oleh menteri perikanan, ia mengatakan bahwa kematian lumba-lumba tersebut tidak ada berkaitan sama sekali dengan pencemaran minyak di laut. Sekilas terdapat dua lumba-lumba yang memiliki bekas gigitan hiu. Kemungkinan terjadi pertarungan antara lumba-lumba dan hiu yang membuat para lumba-lumba mati terdampar.
Tidak masuk akal, mengingat hiu adalah makhluk soliter atau penyendiri. Hiu berburu secara individu, tidak mungkin bagi hiu menang melawan 17 lumba-lumba. Kematian lumba-lumba mati dalam jumlah besar dalam waktu yang bersamaan adalah kejadian yang jarang terjadi. Terakhir kali ditemukan lumba-lumba mati pada tahun 2019, itupun hanya dua ekor.
Kapal MV Wakashio karam setelah menabrak karang pada 25 Juli lalu di Pointe d’Esny, suaka bagi satwa luar dan langka. Area tersebut mencakup lahan-lahan basah yang ditetapkan sebagai lokasi penting internasional oleh Konvensi lahan basah Ramsar. Kematian 17 lumba-lumba ini adalah laporan pertama sejak tumpahan minyak dari kapal yang karam. Sebelum ini, banyak ikan dan kepiting yang ditemukan mati.
Berdasarkan kesaksian sejumlah aktivis lingkungan kepada BBC, kematian lumba-lumba disebabkan oleh tumpahan minyak. Mereka mungkin telah mencium bau bahan bakar. Situasi ini diprediksi akan semakin memburuk seiring dengan berjalannya waktu. Bisa saja ada dampak lain lebih besar setelah ini. Kematian 17 lumba-lumba mungkin adalah sebuah permulaan.
Pegiat lingkungan lain berpendapat, penenggelaman haluan kapal oleh otoritas terkait semakin memperparah kondisi ini. Penenggelaman itu telah mengganggu mamalia laut dan habitat alami mereka. Greenpeace Afrika memperingatkan bahwa ada ribuan spesies hewan berada dalam risiko tenggelam di tengah polusi laut, dengan konsekuensi yang buruk bagi ekonomi, ketahanan pangan, dan kesehatan.
Jika ini terus dibiarkan, bukan hanya hewan-hewan laut yang akan mati, namun juga manusia. Eksistensi Mauritius sebagai destinasi wisata kelas dunia juga akan hilang karena pencemaran. Manusia selalu bergantung kepada alam, ketika alam tidak lagi bisa digunakan sebagai tempat untuk bergantung maka tinggal menunggu waktu hingga manusia punah.
Mungkin sebagian besar dari kita tidak mengetahui keberadaan Mauritius, baik tentang lokasi dan bagaimana kondisi geografisnya, Mauritius adalah sebuah negara kepulauan di barat daya Samudera Hindia. Letaknya 900 m dari timur Madagaskar. Negara ini masih dalam koloni Prancis bersama dengan Kepulauan Mascarene dan Pulau Reunion.
Dalam hal pariwisata, Mauritius memiliki keindahan alam yang luar biasa. Tidak kalah dengan Maldives atau Karibia. Dengan luas 2.000 km, Pulau Mauritius memiliki keindahan alam pantai dan laut yang rupawan dengan ragam atraksi juga resor-resor mewah berjejeran. Selain itu, juga ada dua situs budaya yang diakui UNESCO di Mauritius, Aaapravasi Ghat dan Le Morne Cultural Landscape.
Negara ini telah lama menjadi langganan destinasi tujuan pariwisata oleh sejumlah kalangan selebritas dunia. Beberapa kawasan pantai di Mauritius eksklusif untuk kelas atas. Wisatawan dapat bermain air di pantai, golf, watersport, hingga trekking dapat dilakukan di sini. Penduduknya berasal dari etnis India, sisanya sebagai minoritas adalah Creole dan Afrika.