Siang itu, saya memutuskan untuk mengunjungi sebuah pantai yang terletak tidak begitu jauh dari tempat saya dinas kerja.
Dengan mengendarai mobil selama dua puluh menit menyeberangi desa Banyuglugur, Situbondo, saya tiba di pintu masuk pantai yang selalu direkomendasikan oleh ibu penjual nasi tempat saya biasa makan, Pantai Tampora.
Setelah melewati sebuah bukit yang dikelilingi dengan guguran daun yang tengah meranggas, akhirnya saya tiba di bibir pantai berpasir putih yang masih sepi pengunjung.
Maklum meski saat itu sedang musim liburan, namun akses yang tidak mudah dan masih sedikit media yang memberitakan keberadaan lokasi ini membuat Pantai Tampora terkesan ekslusif dan bersih dari sampah.
Saya langsung menggulung celana panjang dan mengencangkan tas punggung untuk kemudian mencari tempat asyik untuk menikmati hembusan angin khas musim panas.
Seorang bapak bersama gadis kecil dengan rambut keriting nampak sedang kerepotan menuruni celah karang dengan bawaan yang cukup banyak.
‘Mari pak, saya bantu,’ dengan senyum seadanya saya berusaha menawarkan diri.
Sang bapak kemudian menyerahkan dua buah joran berukuran sedang dan satu buah ember kecil untuk saya pegang, sementara beliau menuruni karang sembari menggendong anaknya.
‘Terima kasih ya dek,’ dengan logat khas Madura sang bapak membalas senyumku.
Belum sempat saya berbicara, sang bapak melanjutkan ‘Ayo Syifa, bilang makasih sama kakak.’
Sembari bersembunyi di belakang celana ayahnya, gadis yang kuperkirakan berusia tiga hingga lima tahun itu berkata setengah terbata.
‘Makasih kakak,’ menyadari betapa lucu anak ini, tanpa sadar saya pun ikut tersenyum.
Rupanya tempat saya bersantai adalah lokasi mereka biasa memancing, maka siang itu saya putuskan untuk menghabiskan waktu bertiga dengan Syifa dan ayahnya.
‘Adek sendirian?Suka mancing?’ Tanya sang bapak memulai percakapan.
‘Suka pak, walau nggak pernah dapat hehe,’ saya menjawab seadanya, perhatian saya tertuju pada gadis kecil yang sangat lucu dengan pipi gembulnya.
‘Kalah dong sama Syifa, minggu lalu dia dapat Kerapu, ya Syifa?’ sang bapak berusaha mengajak bicara anaknya yang sedari tadi sibuk memainkan sesuatu di dalam ember kecil tadi yang ternyata berisi umpan cacing hidup.
‘Wah, anaknya sering diajak mancing ya pak?’ saya takjub, rasanya kontras sekali dengan beberapa teman di Jakarta yang melihat hewan kecil ini dari kejauhan pun sudah lari tunggang langgang.
‘Dia sudah ke mana-mana, hampir hanyut pun pernah haha,’ saya pun ikut tertawa.
‘Syifa nggak takut cacing?‘ saya mencoba akrab dengan gadis pemilik mata bundar tersebut.
‘Nggak, kakak takut ya?‘ ujarnya sembari menjejalkan tangannya yang telah kotor oleh tanah basah.
‘Dek, meski perempuan dia termasuk berani, karena dari kecil udah sering saya ajak main ke luar. Mancing, main di sungai, naik gunung, malah dia yang suka nagih kalau tahu saya lagi libur.’
‘Waaah,’ tidak ada lagi yang mampu saya katakan selain itu, saya terlanjur mengagumi keluarga harmonis ini.
Beberapa kali menaik-turunkan joran, sang bapak bercerita mengenai kebaikan yang didapat dari mengenalkan anak dengan lingkungan sedini mungkin dan Syifa adalah contoh yang sangat baik untuk saya.
Untuk anak sekecil itu, ia tidak malu bercanda dengan orang asing yang baru dikenal, meski logat dan bahasa saya terbilang aneh dan beberapa kata yang saya gunakan nampak tidak biasa di telinganya.
Syifa sudah bisa berbicara dengan cukup lancar, berani mengaitkan sendiri cacing pada mata kail, rajin mengucapkan kata tolong dan terimakasih pada tiap-tiap kalimat yang ia ujarkan.
Saat terjatuh membentur dahan pohon pun ia tidak menangis, hanya bilang.
‘Aw sakit,’ dengan wajah sendu, kemudian kembali berlari riang saat ombak mencoba meraih kakinya.
Saat minum pun Syifa menawarkan botol yang ada ditangannya kepada saya tanpa aba-aba terlebih dahulu dari sang ayah. Ia seakan telah terbiasa mandiri.
Saya tahu bahwa masa anak-anak adalah masa yang paling menggembirakan, namun masa anak-anak yan dimiliki Syifa merupakan hal terhebat yang pernah saya temui selama ini.
Reel berderit secara tiba tiba, hentakan yang cukup kencang membuat joran yang disandarkan di tepi karang menggelinding ke arah kanan.
‘Syifa, strike!’ dengan nada senang sang bapak memangil anaknya.
Biskuit yang kuberikan pun dihempaskan begitu saja oleh Syifa yang setengah menghampiri ayahnya sembari bersorak.
‘Aku! Aku! Aku!’ rupanya ia sudah tidak sabar mengangkat ikan yang sudah ditunggu semenjak tadi.
Antusiasme, respon yang cepat dan keberanian yang dimiliki Syifa menunjukkan bahwa ada banyak sekali manfaat positif dari mengenalkan anak dengan alam sedini mungkin.
Melihat keakraban Syifa dengan ayahnya saya merasa sangat iri, dan berjanji dalam hati bahwa suatu saat akan mengajak anak saya memancing juga.