Sebagian besar masyarakat Bandung mungkin sudah mengenal dan tidak asing dengan keberadaan Perkebunan Teh Malabar di Pengalengan. Tapi masih sedikit yang paham mengenai sejarah dan berbagai kisah mulia dibaliknya. Perkebunan ini didirikan pada bulan Agustus 1896 oleh Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang pebisnis sukses berkebangsaan Belanda.
Perkebunan Teh Malabar berada di Pengalengan, Bandung Selatan. Berada di kawasan pegunungan dan perbukitan yang asri dengan ketinggian 1550 mdpl. Perkebunan milik Bosscha menjadi kebun teh tertua di Pengalengan, yang kemudian hari diikuti perkebunan teh lainnya seperti Kertamah, Pasir Malang, Purbasari, Santosa, Talun, dan Sedep.
Meskipun seorang Belanda yang notabene merupakan bangsa penjajah di nusantara, Bosscha berbeda dengan orang Belanda umumnya. Bosscha sangat ramah terhadap pribumi dan tidak membeda-bedakan. Menurut Bosscha, semua manusia adalah sama dihadapan tuhan. Tak heran Bosscha sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat setempat hingga kini.
Bosscha pertama kali tiba di Hindia Belanda di usia 22 tahun di tahun 1887. Awalnya ia bekerja untuk sang paman, Edward Julius Kerkhoven di sekitar Sukabumi. Sembilan tahun kemudian, Bosscha mendirikan perkebunan teh miliknya sendiri yang diberi nama Perkebunan Teh Malabar. Sukses besar, ia juga mendirikan dua pabrik teh dengan hasil produksi bernilai eksport.
Karena kesuksesannya inilah, Bossha dikenal sebagai Raja Teh Priangan. Produk unggulannya adalah jenis teh hitam yang melalui proses oksidasi sempurna sehingga menghasilkan rasa dan warna khas. Bahkan hingga saat ini, produk dari pabrik teh Malabar bisa dijumpai di beberapa negara Eropa. Jika berkesempatan berkunjung, ada dua produk yang bisa dibeli langsung, yaitu cap Goalpara dan Gunung Mas.
Bosscha sangat ramah kepada penduduk pribumi, bahkan sering bergaul bersama mereka. Sifat yang sangat jarang ditemukan pada bangsa Belanda saat itu. Banyak sumbangsih yang diberikan oleh seorang Bosscha kepada pribumi. Misalnya sekolah gratis di area perkebunan dan Sekolah Luar Biasa Cicendo. Meskipun telah tiada, hingga kini banyak penduduk lokal setempat yang sangat menghormati sosok Bosscha.
Selain sebagai pebisnis, Bosscha juga dikenal sebagai sosok yang begitu mencintai ilmu pengetahuan. Dari hasil perkebunannya ia memberikan banyak sumbangan donasi untuk pendirian sejumlah yayasan untuk pembangunan sekolah. Termasuk pembangunan Technise Hogeschool Bandoeng (ITB) dan gedung Societeit Cocordia (Gedung Merdeka).
Mungkin banyak yang berpikiran tentang observatorium di Lembang begitu mendengar nama Bosscha. Ya, orang dibalik pembangunan unit teropong bintang raksasa itu memang Bosscha. Terinspirasi dari sang kakeh, Bosscha berkeinginan memiliki teropong bintang untuk bisa menikmati panorama angkasa. Sayang, sebelum benar-benar selesai dibangun, Bosscha meninggal karena terjatuh dari kudanya.
Setelah sepeninggal Bosscha dan Indonesia merdeka, sekarang Perkebunan Teh Malabar dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Rumah kediaman Bosscha berada di di area perkebunan, berjarak lima menit jika menggunakan kendaraan bermotor. Masuk ke rumah dikenakan biaya Rp 5.000. Semua masih tertata rapi dan asli seperti saat Bossha masih hidup.
Arsitektur Belanda yang khas membuat suasana di dalam rumah Bosscha sangat hangat meskipun suhu diluar sangat dingin. Seperti bangunan era Belanda lainnya, terdapat ruang bawah tanah yang dahulu digunakan sebagai tempat evakuasi gempa dan perlindungan dari musuh. Di belakang rumah, berdiri Wisma Malabar yang bisa digunakan untuk menginap.
Bosscha meninggal karena luka jatuh dari kuda semakin parah akibat tetanus. Ia dimakamkan tak jauh di area perkebunan. Bentuk makan yang unik dengan atas yang dibuat seperti topi yang sering dikenakan. Warga percaya, sesekali Bosscha masih sering terlihat di beberapa lokasi, seperti di depan makam atau rumahnya sendiri. Tertarik untuk berkunjung?