Traveling Demi Bisa Pamer di Sosial Media, Membuat Bahagia Atau Malah Sakit?

Traveling sudah jadi gaya hidup, dan menurut penelitian bisa membuat bahagia. Tapi kalau traveling demi mengejar pengakuan di sosmed, masih bahagiakah?

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Untuk apa Kamu traveling? Foto oleh Echi/Phinemo.com

Bahagia dan eksis. Traveling itu membuat bahagia. Selama kamu jalan-jalan pakai uang sendiri, puaskan lah diri menikmati semuanya. Ya, eksis itu juga perlu, biar makin banyak relasi – @wiranurmansyah.

Aktivitas traveling sepertinya sudah menjamur di hampir semua lini masyarakat. Lihat saja ramainya tempat-tempat wisata sekarang ini. Cek juga timeline Instagrammu, betapa seringnya berseliweran foto temanmu yang tengah liburan.

Generasi millenial jadi penguasanya. Dan jika bicara soal tren pengeluaran, generasi ini, traveling menyumbang porsi terbesar. Femina, salah satu media besar di Indonesia pernah melakukan survei pada generasi millenial. Sekitar 50% responden mengaku rela hidup irit dan menabung supaya bisa liburan ke tempat-tempat impian. Yang mengejutkan, 44% responden bahkan mengaku rela berutang untuk bisa traveling. Bahkan beberapa orang menganggap bahwa traveling adalah candu.

Seperti kasus yang sempat ramai di Indonesia, seorang traveler yang terkenal karena berhutang demi traveling dan sempat kabur membawa hutangnya. Benarkah seperti itu kelakuan generasi millenial untuk traveling?

Baca ulasan lengkap kasus berhutang sana sini demi traveling dengan klik di sini.

Bobby (22), seorang generasi millenial, yang sempat kami tanyai mengenai tren tersebut, punya pandangannya sendiri tentang kasus tersebut. Baginya traveling hanya hiburan, tak perlu sampai berlebihan demi bisa traveling. 

“Kalau menurutku, karena aku tinggal di Jakarta yang super macet, sumpek, dan hiburannya cuma ke mall, traveling itu ya untuk menghilangkan penat, bukan keharusan. Biasanya untuk nambah kenalan, apa lagi kalau solo traveling,” ungkap Bobby.

Hampir sama dengan Bobby, Wira Nurmansyah yang kami tanyai menyampaikan pendapatnya. Wira Nurmansyah merupakan traveler yang tumbuh dan besar di era travel digital. Pendapatan utamanya bahkan berasal dari hobi traveling-nya. Ia merupakan full time traveler yang bekerja sebagai freelance writer dan fotografer. Dirinya sudah jalan-jalan ke lebih dari 20 negara di Asia dan Eropa, dan hampir 34 provinsi Indonesia.

“Kalau aku sih traveling ya traveling aja. Ngilangin stres gitu. Bisa bikin bahagia, dengan mengunjungi destinasi wisata suatu daerah juga kita bisa membantu pendapatan daerah kan,” ungkap Wira.

Seharusnya, traveling itu membuat bahagia

“Traveling itu membuat bahagia.” Foto dari akun IG @wiranurmansyah

Hampir semua orang memiliki tujuan hidup mencari kebahagiaan. Dan seperti yang semua kita pahami, uang menjadi kunci penting mendapatkan itu. Dengan uang kita bisa memenuhi hampir semua berbagai kebutuhan dasar seperti hidup sehat, makan tercukupi, membagi kebahagiaan dengan orang lain, dan berbagai hal lain.

Menurut Thomas Gilovich, seorang profesor psikologi di Cornell University yang telah mempelajari masalah uang dan kebahagiaan selama lebih dari dua dekade, musuh terbesar dari kebahagiaan adalah adaptasi.  Uang memang bisa membeli kebahagiaan, tapi hanya sampai titik tertentu. Bagaimanapun, adaptasi diri kita pada objek kebahagiaan akan mempengaruhi lama tidaknya kebahagiaan itu bertahan.

Thomas Gilovich melakukan penelitian pada orang yang hobi berbelanja barang-barang baru dan orang yang hobi traveling.

Pada awalnya, tingkat kebahagiaan seseorang yang rutin melakukan pembelian barang baru dengan seseorang yang melakukan traveling, memiliki peringkat hampir sama. Namun seiring waktu, kepuasan  dengan barang- barang yang telah dibeli turun, sedangkan kepuasan pada pengalaman-pengalaman yang didapat dari traveling tetap bertahan dan cenderung naik. Diri kita cenderung lebih cepat beradaptasi dengan benda-benda fisik. Hal itu menjadi faktor utama mengapa rasa puas, penasaran dan rasa-rasa tertarik lain cepat pudar.

Menurut Thomas, banyak orang membeli barang sebagai simbol identitas. Orang membeli gadget terbaru untuk menunjukan identitas mereka, orang membeli berbagai gaya busana untuk menunjukan seperti apa identitas mereka, orang memilih apartment mewah di tengah kota untuk menunjukan identitas mereka. Mereka merasa bahwa barang-barang tersebut telah melekat sebagai identitas diri, namun mereka lupa bahwa barang-barang tersebut sebenarnya tetap bagian terpisah dengan diri mereka. Hal tersebut berbeda dengan pengalaman-pengalaman yang didapat saat seseorang melakukan perjalanan. Pengalaman itu telah menyatu dalam diri, menjadi satu kesatuan. Ini yang menyebabkan kebahagiaan -saat maupun setelah traveling- bertahan lebih lama.

Ternyata tidak semua orang berbakat menjadi traveler. Baca ulasan selengkapnya dengan klik di sini.

Membandingkan diri, iri, lalu memaksakan diri demi ‘pamer’

Pamer sering traveling di sosial media, untuk apa? Foto oleh Rizqi Y/Phinemo.com

Seberapa sering kita merasakan rasa iri saat membandingkan materi yang kita punya dengan materi orang lain? Membandingkan seberapa canggih gadget kita dengan orang lain, membandingkan seberapa mahal mobil kita dengan orang lain, membandingkan busana dan berbagai aksesoris yang menempel dengan milik orang lain?Menurut Thomas, rasa iri yang muncul dari benda-benda fisik, hampir semuanya menimbulkan perasaan negatif. Berbeda dengan yang didapat dari rasa iri saat membandingkan pengalaman perjalanan kita dengan pengalaman perjalanan orang lain.

Tapi, bagaimana jika traveling juga sudah jadi ajang unjuk identitas layaknya kita pamer barang-barang yang baru kita beli? Bagaimana jika traveling hanya jadi alat eksistensi diri, narsis di sosial media? Akankah traveling masih memberi kebahagiaan?

Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), angka pengguna internet Indonesia 2016 mencapai 132,7 juta. Menurut survei tersebut, Facebook berada di posisi pertama sebagai media sosial yang paling banyak menyedot pengguna internet Indonesia, dengan 71,6 juta pengguna (54 persen). Kemudian di tempat kedua, media sosial untuk berbagi foto dan video pendek Instagram berhasil merebut hati para pengguna internet Indonesia dengan jumlah pengguna mencapai 19,9 juta (15 persen). 

Saat ini, mengakses internet memang semakin mudah, ditambah lagi jenis sosial media yang ditawarkan pun semakin beragam fiturnya. Masing-masing pengguna pasti memiliki kebutuhan yang berbeda dalam bersosial media. Ada yang menjadikannya tempat berbagi kebaikan, berbagi keluh kesah, menyalurkan bakat, bahkan ada yang tanpa sadar menjadikan media sosial sebagai ‘ajang pamer’.

Menurut pandangan psikologi salah satu alasan seseorang eksis di sosial media adalah karena kecenderungan ingin dikenal dan dilihat banyak orang. Popularitas, secara psikologis akan membuat seseorang merasa lebih bangga. Hal tersebut juga merupakan hal yang wajar. Akan tetapi fenomena yang berkembang saat ini adalah pengguna media sosial mengekspresikan dirinya secara berlebihan.

Traveling seharusnya mengurangi stres.  Menurut Penelitian Roger Dow, seorang presiden dan CEO dari asosiasi travel Amerika Serikat, menemukan 6 efek traveling pada manusia dalam jurnalnya yang berjudul “Travel Effect: A Call to Lead, a Means to Do So”. Salah satu efek sampingnya adalah meredakan stress. Penelitian mengungkapkan bahwa udara yang segar, pepohonan yang rindang, gemericik air, ombak pantai, sunshine/sunset dan semua suasana baru yang kita jumpai ketika traveling bisa memberi kepuasan dan ketenangan tersendiri bagi diri seseorang.

Betul, sewajarnya traveling memang meredakan stres, tapi beda cerita jika kita melakukannya untuk pamer, dan mencari pengakuan.

Bagi sebagian pengguna sosial media, foto yang diunggah atau status yang ditulis oleh orang lain yang terkesan pamer akan membuatnya iri. Dampak selanjutnya akan membuatnya membandingkan diri dengan orang yang mengunggah foto tersebut. Seperti di Instagram, ketika ada seseorang yang melihat foto orang lain tengah liburan di tempat indah nan mewah, serta mendapat banyak komentar kagum dan ratusan like, orang tersebut merasa iri. Lalu membandingkan dirinya dengan orang lain tersebut. Betapa bahagianya orang tersebut, dan betapa malangnya dirinya. Lalu dia berusaha menjadi seperti orang tersebut. 

Dari sinilah bermula motivasi traveling yang kurang baik, yaitu mengejar eksistensi diri di sosial media. Memaksakan diri untuk traveling tiap bulan atau bahkan tiap minggu demi mendapat komentar takjub dan like dari followers. Demi mendapat komentar ‘wah asyik ya jalan-jalan terus.’ Padahal saat itu mungkin kondisi keuangan sedang tidak sehat. Atau pada dasarnya sebetulnya Kamu tidak terlalu menyukai aktivitas traveling, tapi demi menyandang gelar ‘anak hits’ di sosial media, Kamu merasa wajib mengunjungi destinasi-destinasi yang sedang populer di sosial media. Traveling yang awalnya mengejar kebahagiaan, akhirnya justru menjadi menyiksa.

“Ya harus tahu diri lah. Jangan memaksakan diri melakukan suatu hal yang sebenarnya kita tidak mampu. Traveling dengan uang sendiri, jadi harus bahagia,” Wira berpendapat.

Dirinya menambahkan, apalagi jika sampai harus meminjam uang, yang ada bukannya bahagia tapi malah stres.

“Jalan-jalan ke destinasi yang dekat saja. Atau coba wisata kuliner. Bisa terus jalan tapi juga tetap eksis,” tambah Wira.

Bobby punya sependapat. Baginya traveling bukan keharusan, apalagi kalau harus memaksakan diri.

“Iya kalau aku ya nabung dulu buat liburan, baru memutuskan liburannya mau kemana, at least sudah punya pegangan pasti. Kalau menghalalkan segala cara sih nggak lah ya, soalnya kan punya kebutuhan yang lebih urgent dibanding liburan,” jelas Bobby.

Menjadikan rasa iri sebagai bahan bakar aksi positif

Apapun motivasimu traveling, baiknya itu bermanfaat untukmu dan orang lain. Foto oleh Echi/Phinemo.com

Perbandingan sosial seperti pembahasan di atas disebut sebagai social comparison. Sebetulnya social comparison tidak selalu buruk. Terlebih di era sekarang, kita tidak dapat memungkiri keberadaan sosial media yang terkadang membuat kita iri dan membandingkan diri dengan orang lain. Adanya social comparison tersebut justru bisa menjadi bahan evaluasi terhadap diri kita sendiri.

Mungkin pada awalnya Kamu traveling hanya ikut-ikutan karena sedang tren, tapi ternyata kemudian Kamu justru betul-betul mencintai aktivitas tersebut, sehingga berusaha mendalami lagi bagaimana sebaiknya menjelajah destinasi yang menyenangkan selain hanya foto-foto.

Awalnya menabung untuk traveling tak pernah masuk dalam rencanamu, tapi akhirnya Kamu belajar bahwa hal tersebut penting demi finansial yang sehat. Akhirnya, Kamu pun rutin berhemat, berhenti foya-foya tidak jelas.

Selain itu, eksis pada dasarnya cukup penting bagi freelance writer dan fotografer seperti Wira untuk mendapat relasi.

“Bahagia dan eksis. Traveling itu bisa bikin bahagia. Selama kamu jalan-jalan pakai uang sendiri, puaskan lah diri menikmati semuanya. Ya, eksis itu juga perlu, biar makin banyak relasi.”

Pada akhirnya, tak masalah bagaimana kacaunya Kamu mengawali, tapi berproses menjadi lebih baik itu jauh lebih penting, kan? Tanpa usaha lebih, tak akan ada pencapaian apapun. Kamu hanya akan terus membandingkan diri dengan orang lain, hanya akan terus merasa iri dengan orang lain.

Kita boleh iri dengan apa yang telah didapatkan oleh orang lain. Pun kita boleh membandingkan diri dengan pencapaian orang lain tersebut. Namun, lagi-lagi hal itu harus diimbangi dengan usaha dari kita untuk seperti orang lain, bahkan lebih dari pencapaian orang tersebut.

Membandingkan dirimu dengan orang lain merupakan pencuri kebahagiaan. Kamu dapat menghabiskan sepanjang waktu untuk mengkhawatirkan apa yang orang lain miliki, tetapi kamu tidak akan mendapat apapun. Tak perlu ikut mengejar destinasi impian orang lain, temukan destinasi impianmu sendiri.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU