Seorang pria berusia kepala dua, terlihat kepayahan melangkahkan kakinya. Lutut sebelah kirinya alami cedera. Ransel merah berukuran 50 liter yang digendong di pundaknya semakin memberatkan. Sesekali dia berhenti, mengambil nafas, lalu menenggak air mineral dari botol minumnya. Dengan nafas yang menderu seperti itu, harusnya dia mengakhiri perjalanan. Kembali ke base camp. Namun, pria ini terus saja mendaki. Katanya;
“Harus sampai puncak, sudah sampai sini masa nggak ke puncaknya”
Melihat pria ini kepayahan, tak banyak kata yang keluar dari mulut saya. Diam dan terus berjalan mengikuti langkahnya. Tiba-tiba, dia menghentikan langkah, membungkukkan badannya, dan mengeluarkan semua isi perut. Ia muntah. Indomie goreng telur yang jadi menu sarapan tadi pagi, terbuang begitu saja.
Baca juga perjuangan pendaki yang terus naik gunung meski bertubuh ekstra dengan klik di sini
Mukanya yang pucat pasi, bibir hitam yang makin terlihat kuyu, membuat dia tampak tak berdaya. Saya mengajak dia kembali ke base camp. Namun, dia menolak. Meski tubuhnya sudah mulai oleng, tak ada niatan sedikit pun untuk mengakhiri perjalanan.
“Aku sudah sampai sejauh ini, harus sampai puncak. Aku kuat,” kata dia memaksa.
“Kalau kamu mati saat sampai puncak, apakah itu bisa membuatmu bahagia?”
Pertanyaan yang saya lontarkan membuatnya sesaat terdiam. Jahat? Mungkin terdengar demikian. Tapi, saya pikir, akan lebih kejam jika terus memaksakan tubuhnya bergerak mencapai puncak. Sementara, sesungguhnya dia tak mampu.
Pertanyaan yang saya ucapkan tak sanggup hentikan langkahnya. Kepala batu? Ya, pria ini seperti batu berjalan. Terus saja melangkahkan kakinya.
Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan seorang wanita seperti saya, jika tiba-tiba dia meregangkan nyawa di perjalanan? Meninggalkannya begitu saja dan turun mencari bantuan? Atau membopongnya turun ke bawah sambil mencari bantuan pendaki lain? Rasanya, opsi terakhir tak akan bisa dilakukan. Mana mungkin, wanita bertubuh mini dan kurus seperti saya kuat menggendong pria besar seperti dia?
Tapi… saya tahu, siapa yang bisa menolongnya.
Mau tahu siapa pahlawan travelermu? Coba mainkan kuis untuk mengetahui siapa pahlawan travelermu dengan klik di sini
Bukan. Bukan Superman yang bisa membantu dia. Memang benar, Superman bukan tokoh nyata. Hanya rekaan saja. Kalau pun super hero yang berasal dari planet Krypton ini benar nyata, dia terlalu sibuk menangani masalah bumi.
Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan pria batu yang terus memaksakan diri naik ke puncak dengan tubuh yang mengenasakan itu, ya dirinya sendiri. Bukan saya, Superman, Thor, Valkyrie, Hulk, atau Pak Jokowi.
Karena, sesungguhnya, kita sendiri lah yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan diri. Tidak membutuhkan pahlawan manapun, karena kita adalah pahlawan untuk diri sendiri. Masuk akal kan?
Siapa yang berhak memutuskan apakah kita akan berhenti atau meneruskan perjalanan?
Siapakah yang paling berpengaruh atas pikiran, ucapan, dan tindakan yang kita lakukan?
Siapa yang tahu seberapa kuat tubuhmu sanggup melanjutkan perjalanan?
Kita sendiri.
Kita adalah orang yang paling berkuasa atas hidup ini. Kita yang memutuskan untuk terus melakukan perjalanan dalam suka cita atau mengakhirinya dengan menyedihkan. Bukannya membebankan pada diri sendiri apalagi orang lain.
Memaksakan naik puncak dengan keadaan tubuh mengenaskan hanyalah contoh yang bisa jadi pelajaran. Kalau kamu sudah berani buat naik gunung atau pun jalan-jalan, minimal bertanggung jawablah pada diri sendiri. Nggak menyusahkan orang lain. Nggak merusak alam. Atau merugikan lingkungan.
Percuma saja pamer foto puncak, kalau kamu menggapainya dengan menitipkan semua barang pada teman atau terus-terusan merengek sepanjang perjalanan.
Percuma saja foto di depan menara Eiffel kalau ternyata kamu ke sana dengan pinjaman uang dari teman yang belum juga dibayarkan.
Percuma saja berkicau di sosial media, cintai lingkungan dan cintai Indonesia, kalau nyatanya kamu pun belum cinta pada diri sendiri. Masih nyiksa tubuh dengan terus-terusan makan mie instant.
Perjalanan itu harusnya menyenangkan. Nikmati perjalananmu, ketahui batasan dirimu, dan berbahagialah atas pilihanmu dengan menjadi pahlawan pada diri sendiri. Karena kamu adalah satu-satunya orang yang tahu batasan diri dan kebahagianmu sendiri.