Mengenal AdiSoetjipto, Bapak Penerbang Bangsa

Pesawat telah menjadi moda transportasi yang sangat populer. Namun, pernahkah kalian tebersit siapakah Bapak Penerbang Bangsa Indonesia? Simak ulasannya.

SHARE :

Ditulis Oleh: Noor Adha Satrio H

Dapat diakui bahwa moda transportasi kini sangat banyak macamnya. Sebagai traveler, tentu kita semakin dimudahkan dengan berbagai pilihan transportasi mulai dari darat, laut, dan udara.

Untuk menjejakkan kaki di suatu tempat,  kini kita hanya tinggal memilih mana yang paling sesuai dengan keadaan kita. Transportasi udara seperti pesawat selain cepat, juga menyediakan kenyamanan yang cap jempol.

Yang perlu kalian tahu, menurut beberapa survey, pesawat adalah transportasi yang paling aman. Hal ini karena pesawat memiliki standar keamanan tinggi dengan adanya pilot yang sudah terdidik dan terlatih bertahun-tahun untuk bisa mahir dalam menerbangkan pesawat. Kemudian, pesawat juga wajib melalui proses pengecekan sebelum take off dan sesudah landing sehingga angka kecelakaan pada moda transportasi ini paling kecil di antara layanan transportasi yang lain.

Berbicara tentang pesawat, Indonesia memiliki maskapai pesawat terbang yang sangat mumpuni. Garuda Indonesia diakui oleh seluruh dunia sebagai maskapai yang sangat berkualitas tinggi. Namun, membayangkan tentang pesawat terbang Indonesia tak pelak juga akan tebersit di benak kita tentang siapa tokoh penerbang perdana pesawat di Indonesia dan perjalanan hidup yang dijalaninya. Simak ulasannya berikut ini.

Merah Putih di Langit Indonesia

Adisutjipto di depan Pesawat Cureng yang akan diterbangkannya. Sumber

Di masa jajahan Belanda, terdapat sebuah kota yang dikenal sebagai De Schoonste Stad van Midden-Java, yang berarti Kota Terindah di Jawa Tengah, yaitu Salatiga. Dari kota yang sejuk dan dingin ini, pada 3 Juli 1916, lahirlah seseorang dari buah perkawinan antara Roewidodarmo dan Latifatun, Agustinus Adisoetjipto, yang kita kenal sebagai Adisoetjipto, pahlawan nasional Indonesia.

Ia diketahui sebagai seseorang dengan pribadi yang pendiam dan memiliki beragam kegemaran seperti mendaki gunung, sepak bola, tenis, dan bermain catur. Namun, ia orang yang sangat tegas kala harga dirinya terinjak. Orang-orang hebat biasanya gemar membaca buku, begitu juga kebiasaan yang dilakukan Adisoetjipto yaitu membaca buku-buku kemiliteran dan filsafat. Adisoetjipto mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran GHS (Geneeskundige Hoge School), lalu ia lanjutkan menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Sekolah Penerbang Militaire Luchtvaart di Kalijati, Subang.

Perang Dunia II pecah. Pada Maret 1942 gemuruh pasukan Jepang memasuki Indonesia. Kekuatan dan keganasan Negeri Matahari Terbit ini jauh melebihi Belanda, dan membuat penjajah yang telah lama menancapkan cakarnya di Nusantara itu bertekuk lutut. Pada saat ini pula, seluruh pasukan angkatan udara Hindia Belanda, termasuk Adisoetjipto, dibebastugaskan. Setelahnya, ia kembali ke Salatiga dan bekerja sebagai juru tulis. Di tanah kelahirannya ini pula, ia mempersunting seorang gadis bernama Rahayu.

Tiga tahun berselang, pekik kemerdekaan berkumandang pada 17 Agustus 1945. Indonesia semakin menunjukkan pergerakannya, dengan darah, keringat, dan air mata rakyat Indonesia membela tanah air. Pada 5 Oktober 1945, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat Jawatan Penerbangan yang dipimpin langsung oleh Komodor Udara Surjadi Suryadarma dan ia menugaskan Adisoetjipto untuk membentuk organisasi ini. Perlu dimaklumi pada era awal kemerdakaan Indonesia, kondisi angkatan udara sangat memprihatinkan. Tidak ada pilot, tidak ada mekanik pesawat, tidak ada dana, dan hanya ada beberapa pesawat tua peninggalan Jepang.

Masih pada waktu-waktu gelora kemerdekaan Republik Indonesia lantang berseru, Adisoetjipto dengan berani menerbangkan pesawat jenis Nishikoren yang dicat merah putih dari Tasikmalaya ke Maguwo, Yogyakarta. Pada 27 Oktober 1945 pula, ia berhasil menerbangkan pesawat Cureng berbendera merah putih di sekitar Yogya. Bukan tanpa sebab ia menerbangkan pesawat ini. Desing pesawat yang ia terbangkan bercat merah putih dimaksudkan untuk membakar semangat rakyat Indonesia melawan penjajahan yang masih terjadi di beberapa wilayah. Inilah penerbangan berbendera merah putih pertama di tanah air dan bukti semangat cinta tanah air yang begitu besar dengan keberanian dan segenap kemampuan yang dimiliki Bapak Penerbang kita, Adisoetjipto. 

Adisutjipto sedang memberikan instruksi kepada siswa sekolah penerbang di Maguwo. Sumber

Telah kenyang dengan pendidikan penerbangan, pada 15 November 1945, Adisoetjipto dan Surjadi Suryadarma berinisiatif mendirikan Sekolah penerbang di Yogyakarta, tepatnya di Lapangan Udara Maguwo, yang kemudian diganti namanya menjadi Bandara Adisoetjipto yang kita kenal kini. Dalam situasi yang masih kekurangan dan memprihatinkan, mereka membagi tugas. Adisoetjipto menjadi instruktur penerbang, dan Surjadi Suryadarma mengurus administrasi. Angkatan pertama pada sekolah ini berjumlah 31 siswa yang berhasil mereka didik di sekolah binaannya dengan modal pesawat tua yang mereka miliki.   

Bapak Penerbang kita sempat menerima ejekan dari para penerbang Kerajaan Inggris yang mengunjungi Lanud Maguwo Yogyakarta. “Kalian menerbangkan peti mati,” Namun Adisoetjipto tak surut sedikit pun tekadnya. Dengan keterbatasan itu, prestasi gemilang tetap ditorehkan siswa didikannya. Tidak hanya zero accident, Suharmoko, Harbani, Soetardjo Sigit dan Moeljono berhasil mengebom tangsi-tangsi Belanda di Salatiga, Ambarawa, dan Semarang.

Gugurnya Bunga Bangsa

Pada saat Agresi Militer Belanda I pada 29 Juli 1947, Adisoetjipto dan 8 orang rekannya, termasuk tokoh penting Angkatan Udara Republik Indonesia Abdulrahman Saleh, mendapat amanah untuk mencari bantuan obat-obatan bagi Palang Merah Indonesia menggunakan pesawat angkut Dakota VT-CLA, bantuan dari saudagar  India. Misi kemanusiaan ini dilakukan secara terbuka atas persetujuan Belanda dan Inggris. Sebelum pulang ke Indonesia, mereka singgah di Singapura untuk mengangkut bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya sehingga pesawat baru berangkat kembali pada pukul 13.00 WIB pada waktu itu. Sementara itu di Lanud Maguwo, Kepala Staf Surjadi Suryadarma telah menunggu kedatangan mereka dan memerintahkan agar pesawat itu tidak perlu berputar-putar sebelum mendarat untuk menghindari kemungkinan serangan udara.

Pesawat Dakota VT-CLA yang jatuh. Sumber

Pada pukul 16.30, kebahagiaan terasa sangat nyata ketika perjalanan kemanusiaan ini telah mendekati Lanud Maguwo. Namun semua sirna kala tiba-tiba, dari arah utara muncul dua pesawat KittyHawk milik Belanda yang diawaki oleh Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens. Dua pesawat ini menembaki pesawat yang memuat Adisoetjipto dan kawan-kawan secara brutal. Belanda secara langsung telah melanggar janjinya untuk tidak lagi menginterupsi urusan Indonesia. Peluru-peluru yang melesat mengenai pesawat Dakota Adisoetjipto dan lantas kehilangan kendali. Pesawat jatuh dan terbakar. Semua orang yang melihat kejadian itu membuncah seakan teriris hatinya ketika misi kemanusiaan dengan membawa obat-obatan untuk rakyat Indonesia yang terluka meledak dan hangus terbakar bersama dengan pesawat itu. Dari sembilan penumpang, hanya A. Gani Handonocokro yang berhasil selamat.

Hanya 31 tahun umur yang dicapai Adisoetjipto muda, tapi suara cintanya pada tanah air melampaui zaman dan lebih keras dari desing pesawat-pesawat udara. Bapak Penerbang Indonesia ini telah gugur dalam misinya, namun kobar semangatnya tak pernah padam dan ia telah menerbangkan merah putih setinggi-tingginya di langit Indonesia. 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU