Setiap perjalanan selalu memberikan kejutan
“Pokoknya tahun ini harus ikut Dieng Culture Festival!” ajak Nana.
“Berangkat!” sahut saya tak kalah semangat.
“Oke, pesan tiket DCF 2016 sekarang aja. Kita nggak usah berekspektasi tinggi tentang perjalanan kesana. Beri kesempatan perjalanan kasih kejutan.”
Sebelumnya saya mengetik Dieng Culture Festival di mesin perambah lalu menekan tuts Enter, muncul berbagai paket wisata Dieng yang memfasilitasi selama acara DCF berlangsung. Agendanya nggak hanya menyaksikan ritual potong rambut gimbal. Setiap malam digelar pertunjukan musik bertajuk Jazz di Atas Awan. Malam sebelum acara inti – ritual pemotongan rambut – pun juga diadakan pesta kembang api dan pelepasan ratusan lampion di tengah konser Jazz yang berlatar candi Arjuna. Tak hanya itu, ada pagelaran seni dan budaya yang tak ketinggalan ada di urutan acara.
Kalau baca sekilas agenda DCF, pasti akan terbayang kegiatan selama di sana. Tanpa sadar acara yang tersusun apik itu perlahan menumbuhkan ekspektasi dalam sebuah perjalanan. Ya nggak?
Secara tak langsung akan terbayang ‘nanti saya pasti dapat foto bagus saat pelepasan lampion’ atau ‘wih.. ritual pemotongan rambut gimbal pasti sangat eksklusif’ atau hal-hal lain yang berjejalan di pikiran. Nyatanya setelah berada di sana, balon-balon di atas kepala yang sebelumnya menggelembung berisi ekspektasi indahmu itu akan menyusut bahkan meletus. Dorrr!
Kenyataan tak selalu beriringan dengan impian. Saya akan bercerita realita selama di sana yang mungkin akan membuatmu berpikir dua kali untuk pergi kesana.
Mengintip harga paket wisata ke Dieng selama DCF membuat saya bergidik beberapa kali. Maklum, saya kadang perhitungan soal bujet saat jalan-jalan. Mau ikut Open Trip, bujetnya belum ramah di kantong. Tadinya mau menginap di penginapan atau guest house tapi harganya pasti melonjak selama DCF.
Akhirnya saya dan Nana memutuskan untuk memanfaatkan sarana yang disediakan oleh panitia DCF, menyewa lahan untuk camping. Lumayan, cukup membayar 150ribu bisa untuk menginap selama hampir tiga hari. Apalagi bayarnya patungan dengan teman seperjalanan. Hemat! Kami sangat bangga bisa menekan ongkos menginap selama DCF dengan dalih mendapat pengalaman berkesan selama camping di Dieng.
Nyatanya selama camping, tidur saya tak begitu nyenyak. Udara dinginnya nggak tanggung-tanggung. Saya memakai jaket berlapis tetap saja menggigil. Mau tidur dengan posisi telentang, miring, ataupun meringkuk tak bisa mengurangi hawa dingin yang menurut saya sangat sadis. Saya terus terbayang nikmatnya tidur di atas kasur yang empuk dengan selimut berbulu yang disediakan oleh guest house. Nasi telah menjadi bubur, inilah opsi yang harus saya hadapi resikonya.
Bahkan camping ground sempat diguyur rintik hujan dan setiap malam diselimuti kabut tebal, membuat hawa yang sudah dingin jadi makin dingin lagi. Ouch! Nana membantu saya menempelkan lembaran Koyo Cabai yang panas itu ke telapak kaki dan punggung demi menghangatkan badan. Padahal kalau dipikir-pikir keduanya tak ada kaitannya, tapi tetap saja kami lakukan. Hahaha.
Selama di sana pun kami tak punya nyali untuk mandi meski panitia menyediakan kamar mandi darurat. Ada sebuah bilik untuk mandi air hangat. Bukan hanya karena airnya sedingin air yang tersimpan beberapa jam di kulkas, namun juga karena tak bergairah meilihat kamar mandi yang lebih mirip dengan bilik ala kadarnya yang lebih mirip bilik pemilu tahun 90an.
Berusaha memejamkan mata tapi tak berhasil hingga dini hari. Baru bisa terlelap di atas jam 2 pagi. Begitu membuka mata, mentari sudah menyapa. Saat membuka pintu tenda, suasana camping ground mulai ramai. Orang lalu lalang, ada yang bercerita ramainya saat menyaksikan sunrise hari ini. Ada yang gagal pergi ke Prau untuk lihat sunrise. Ada yang terlihat tak kuasa menahan hasrat untuk buang air. Sedangkan saya hanya terdiam mengamati sekitar. Sial! Saya dan Nana ketinggalan jadwal untuk ikut pergi ke bukit sekitar sini demi sunrise.
Setelah memasak sarapan di tungku darurat, saya dan Nana bergegas untuk mengikuti acara selanjutnya. Di brosur yang sedang kami pegang tertulis saat ini sedang ada festival film yang diputar di Dieng Plateau Theater. Tak perlu banyak basa-basi, kami meluncur ke lokasi.
Petugas mempersilakan kami masuk, meski film sudah mulai diputar. Begitu saya duduk di bangku deretan belakang alangkah terkejutnya saat menatap layar.
“Lhoh.. apa ada yang salah?” gumam saya.
“Jangan-jangan kita salah masuk studio nih..” bisik saya ke Nana.
Kemudian saya dan Nana hanya saling melirik. Lalu tawa pecah ketika film usai diputar. Saya menertawakan kejadian barusan dan mencoba menghibur diri sendiri. Tanda tanya ada di kepala, festival film mana yang tercantum di brosur susunan acara. Film dokumenter barusan bukanlah film yang ada di pikiran saya sedari tadi. Itu hanya cuplikan dokumenter yang rutin diputar oleh museum manapun. Saya tergelak mencoba melunturkan kecewa.
Kayaknya ini adalah acara yang dinanti hampir semua peserta deh. Setelah bersenandung dengan group music beraliran Jazz dan menyanyikan lagu milik mereka yang kadang belum pernah saya dengar sebelumnya sampai menyanyikan tembang lawas dan berhasil membuat saya ikut berdendang.
Sayangnya belum kelar acara nyanyinya, lha kok ada peserta yang berani-beraninya mencuri start untuk menerbangkan lampion. Rupanya ada peserta lain yang ikut latah menerbangkan. Otomatis panitia berusaha lebih keras untuk menghentikan aksi curang itu dengan berbagai cara. Ya, menurut saya itu sangat curang. Nggak bisa diajak kompak untuk menerbangkan lampion bersamaan supaya acara ini berkesan.
Lalu ada lampion yang gagal terbang, akhirnya terbang rendah dan menyusup kerumunan penonton lain yang sedang anteng. Suasana kembali riuh. Sangat berbahaya. Coba kalau lampion tak cepat ditangkap dan dipadamkan apinya, itu sangat membahayakan penonton lain. Ih, saya geregetan deh!
Selesai melepas lampion bukannya senang, saya justru geram. Sampah berserakan di mana-mana. Sampah sisa bungkus makanan dan bungkus lampion menggunung. Saya dan Nana sempat meluangkan waktu untuk mengumpulkan sampah ke satu titik, lalu menyerah karena kelelahan dan memutuskan untuk kembali ke camping ground.
Di tengah perjalanan menuju tenda menyusuri jalan setapak di sekitar Candi Arjuna, sampah juga terlihat berserakan. Selang beberapa menit saya dikejutkan letusan kembang api menyasar dan hampir mengenai saya. Saya reflek merunduk dan jongkok di tanah. Ah, rupanya ada oknum yang menyalakan kembang api sembarangan.
Pesta kembang api telah dimulai. Saya masih bertahan dalam posisi jongkok di rerumputan yang tak jauh dari Candi Arjuna. Letusan kembang api masih bersautan beberapa meter di atas kepala. Saya gagal menikmati momen ini. Pelepasan lampion dan pesta kembang api yang seharusnya menyenangkan malah nampak menyeramkan.
Saya dan Nana siap untuk masuk ke area Candi Arjuna dengan atribut lengkap seperti kain batik yang telah kami ikat di pinggang. Tidak lupa tanda pengenal sebagai peserta DCF yang setia melingkar di leher. Kami duduk di barisan ketiga dari depan dan anteng menanti hajat ruwatan dimulai dan terbayang akan berlangsung secara khidmat. Nyatanya suasana sudah ricuh sebelum dimulai. Ada penonton yang ada di barisan saya mulai mengeluh, meneriaki petugas keamanan yang dirasa sangat menghalangi pandangan.
Keadaan malah tak membaik. Ada saja yang diributkan. Mulai dari penonton yang di barisan depan tak mau duduk, memaksakan diri setengah berdiri demi mengabadikan sebuah momen. Ada lagi penonton yang dengan santainya membawa kursi lipat yang membuatnya lebih tinggi dari penonton lain. Kira-kira tingginya setara dengan orang yang setengah berdiri tadi. Selain itu ada juga yang penuh percaya diri mengangkat tinggi-tinggi kamera lengkap dengan tongsis dan sangat menganggu pandangan orang yang ada di belakangnya.
Acara sudah jalan hampir separuh, penonton masih ribut. Semakin siang, penonton semakin berdesakan. Berebut untuk menjadi yang terdepan. Badan saya sempat tergencet namun terselamatkan setelah petugas keamanan meminta kami semua yang ada di barisan penonton maju beberapa langkah. Selain itu karena gerombolan peserta terpaksa harus undur diri karena mengejar waktu karena sudah masuk jadwal untuk pulang. Akhirnya saya bisa duduk bersila dengan leluasa dan kembali menikmati urutan prosesi riwatan meski sering kali kaki kesemutan. Inikah wajah wisatawan Indonesia? Nampak begitu menyebalkan.
***
Itulah realita selama saya ikut DCF tahun lalu. Perjalanan memberi kejutan berupa kenyataan yang menyebalkan. Bagaimanapun saya harus legowo menerima kejutan sepanjang perjalanan. Apalagi dalam perjalanan tersebut saya nggak melulu mengalami kejadian yang menjengkelkan bersua dengan pejalan lain yang telah menginspirasi.