Nasib Indonesia di Masa Depan Jika Pandemi Virus Corona Tidak Mereda

Sejak WHO menetapkan status gawat darurat global wabah Covid-19, nasib Indonesia di masa depan terancam dampak terhadap perekonomian global.

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Seluruh masyaraktnya terisolir oleh pandemi Virus Corona (Covid-19) yang menjangkiti hampir seluruh negara di dunia. Hari ini (30/3), tercatat sebanyak 721.412 kasus Covid-19, dengan 33.956 diantaranya dinyatakan meninggal dunia. Di Indonesia sendiri terdapat 1.285 kasus dengan 114 diantaranya meninggal dunia. Covid-19 pertama kali diidentifikasi pada akhir tahun 2019 lalu di Kota Wuhan, China dan menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia.

Tidak hanya permasalahan kesehatan internasional, Virus Corona juga menyebabkan permasalahan yang lebih serius pada perekonomian global. Beberapa negara telah menetapkan sistem lockdown dengan menutup akses keluar dan masuk ke wilayah negaranya. Hal ini menyebabkan kegiatan ekspor-impor mandek, pariwisata lesu, dan perlambatan ekonomi global sehingga ancaman resesi harus siap dihadapi segera setelah pandemi ini berakhir.

Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan status gawat darurat global untuk wabah Covid-19, dunia mulai bersiaga. Bukan hanya soal penyebaran penyakitnya, melainkan juga dampaknya terhadap perekonomian global. Badan Moneter Internasional (IMF) memperkirakan akan terjadi perlambatan ekonomi global dalam waktu dekat. Beberapa negara yang berasosiasi dengan China dalam perdagangan internasional diprediksi akan mengalami resesi.

Dampak Perekonomian Nasional

Kerugian awal akibat pandemi Covid-19 sebesar Rp 40.16 triliun akibat arus modal asing yang kabur dari pasar modal dan SBN. Perry Warjiyo selaku Gubernur Bank Indonesia (BI) telah merinci netto outflow dari obligasi pemerintah sebesar Rp 31.76 triliun, sedangkan dari saham sebesar Rp 4.87 triliun pada Februari-Maret 2010 setelah Covid-19 meluas. Ketika pasar SBN dan bursa saham Indonesia ditinggal para investor, kurs Rupiah terhadap Dollar pun turut bergejolak hingga turun di -4.34%.

Pandemi Covid-19 bisa sangat berbahaya terhadap ketahanan fiskal negara. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, defisit anggaran APBN 2020 diproyeksikan melebar sampai 2.5%. dari PDB. Hal ini terjadi karena dampak pandemi Covid-19 telah menekan penerimaan negara. Defisit yang melebar harus menjadi kewaspadaan. Dibutuhkan dana melalui pembiayaan anggaran yang lebih besar untuk menambal gap tersebut.

Pariwisata di Bali sepi oleh wisatawan (berita7.id).

Industri Pariwisata Indonesia Merugi

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan pariwisata Indonesia menjadi sangat sepi. Memang masih terlalu dini untuk menghitung kerugian mengingat pandemi Covid-19 masih belum mereda. Namun dari perhitungan awal Hariyadi B. Sukamdani selaku ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), potensi kerugian pariwisata Indonesia mencapai US$ 1.5 miliar atau setara Rp 21 triliun. Angka ini diduga tidak bisa kurang, tapi bisa terus bertambah.

Meruginya pariwisata Indonesia disebabkan oleh anjloknya turis asal China. Tahun 20019 lalu, trus China yang datang ke Indonesia mencapai dua juta orang. Pengeluaran dalam sekali kunjungan berkisar US$ 1.100 (Rp 15.4 juta) per orang. Wisatawan China yang pertama kali terdampak wabah diisolasi dan dilarang memasuki sejumlah negara, termasuk Indonesia demi menekan angka penyebaran Covid-19.

Manado, Bali, dan Batam menjadi kota wisata yang paling terdampak. Kondisi semakin diperparah dengan dibatalkannya pameran pariwisata terbesar di dunia karena pandemi Covid-19, ITB Berlin. Bagi Indonesia pameran wisata ini begitu penting karena menjadi travel market paling potensial. Hilangnya pasar ini menyebabkan transaksi menjadi tidak berjalan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan jika sudah demikian.

Konser Khalid di Istora Senayan, Jakarta ditunda sampai waktu yang belum ditentukan (brilio.net).

Pembatalan Sejumlah Event dan Pertemuan

Industri meeting, incentive, conference, & exhibition (MICE) terkena dampak yang tak kalah besar. Sejumlah konser musik dan pertemuan berskala internasional dibatalkan. Beberapa diantaranya adalah 98 Degrees di Love Fest 2020, tur Khalid di Istora Senayan, serta festival musik hip hop, RnB, dan soul Flavs 2020. Perhelatan ajang balap mobil Formula E yang rencananya akan dilaksanakan pada 6 Juni 2020 juga resmi ditunda. Jika kondisi tidak segera membaik, akan semakin banyak lagi acara yang batal atau ditunda, tak terkecuali Indonesia Open 2020.

Industri Perhotelan dan Restoran

Indusri perhotelan dan restoran mengalami penurunan okupansi mencapai 50% sejak awal tahun lalu karena adanya pandemi Covid-19. Hal ini tentu memberikan dampak yang besar bagi industri tersebut. Jika kondisi tidak kunjung membaik, setidaknya pada April 2020 mendatang, diprediksi akan banyak perusahaan yang gulung tikar mengingat masuknya bulan puasa dan lebaran Idul Fitri. Beberapa hotel di Bali dan Batam telah memintak karyawannya untuk cuti sementara waktu hingga kunjungan wisatawan berangsur-angsur kembali normal. 

Sektor Manufaktur

Industri Manufaktur juga terkena dampak yang besar, terutama yang selama ini mengandalkan pasokan bahan baku impor. Industri tekstil sudah mengalami kesulitan memasok bahan baku akibat aktivitas produksi di China belum sepenuhnya normal. Bahkan diakui oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia  (API), pasokan bahan baku dan suku cadang industri tekstil telah terhenti sejak Januari lalu. Solusi yang bisa diambil adalah dengan melakukan impor dari negara lain, meskipun sangat sulit karena harganya yang jauh lebih mahal.

Industri elektronika juga terimbas, proses produksi dan ekspor tidak dapat berlangsung seperti biasanya. Menurut Gabungan Elekronika (Gabel), ketersediaan bahan baku sangat dipengaruhi oleh aktivitas produksi, jalur logistik atau kegiatan bongkar muat di pabrik hingga pelabuhan di China yang turun karena pandemi. Lambat laun jika tidak kunjung mereda, pelaku industri akan kehabisan stok material dan tidak bisa membuat produk jadi.

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) membenarkan kondisi ini. Akibatnya, persaingan memperebutkan bahan baku dengan negara lain adalah aktivitas yang tidak dapat dihindari. Jika kondisi ini terus berlangsung maka dipastikan akan banyak karyawan yang terkena pemutusan kontrak kerja (PHK). Angka pengangguran naik, dan kemiskinan bertambah.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU