Merindukan Rumah, Merindukan Kesahajaan

Dalam suatu perjalanan, seseorang bisa merindu karena setitik alasan. Terlebih saat berada di perantauan.

SHARE :

Ditulis Oleh: Rifqy Faiza R.

Tipikal lahan pertanian di Dusun Krajan, Gadingkulon. Foto oleh Rifqy Faiza Rahman

Rindu itu tidak mengenal jarak dan waktu. Rindu itu tak terkotakkan dalam satu definisi dan rupa.

Rindu bisa muncul di tengah-tengah, kala ulama besar Imam Asy Syafi’i menganjurkan manusia untuk merantau. Menempuh perjalanan menuju tempat perantauan, tak peduli seberapa jauh jaraknya. Menjadi asing sekaligus bernilai di tempat yang baru.

Namun, saya menjadi paham bahwa setiap orang berhak memaknai rindu bahkan dengan cara yang paling sederhana. Dalam perjalanan hidupnya, seseorang bisa merindu karena setitik alasan. Terlebih saat berada di perantauan.

***

Pagi itu, saya, bersama beberapa teman sedang menunggu di dalam gardu biru berbentuk apel. Tempat ini persis di titik tengah pertigaan Areng-areng, Desa Dadaprejo, Kecamatan Junrejo. Perbatasan Kota Batu dengan Kabupaten Malang.

Langit tampak biru, sebersih udara yang terhirup. Lalu lintas belum terlalu padat. Warga setempat tampak antusias berbelanja sayur dan lauk-pauk di gapura Desa Dadaprejo. Persis di samping gardu. Bukan pasar di sana. Hanya pedagang yang membuka lapak sederhana. Hari Minggu, memang tampaknya waktu yang tepat memasak untuk keluarga di rumah.

Sekitar 10 menit kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Anam, dengan kemeja lapang berwarna hitam dan celana pendek, muncul di atas motor bebeknya. Sandal gunung di kakinya semakin melekatkan pada hobinya mendaki gunung. Terakhir saya mendaki bersamanya saat ke Gunung Rinjani, September 2013 silam. “Sudah lama nunggunya?”

Kami menggeleng, “Santaaiii……” Anam terkekeh, “Ayo ke rumah dulu.” Lalu ia putar balik, kami mengikuti lajunya. Memasuki wilayah Kabupaten Malang lagi, tepatnya Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau. Benar-benar santai. Udara pagi pedesaan masih mampu terhirup optimal di balik asap knalpot.

Jalan aspal yang tak terlalu mulus terus menaik, dengan rumah-rumah di sisi kanan-kiri jalan. Diselingi hamparan ladang dan persawahan yang rata-rata sudah berumur separuh dari masa tanam. Mulai dari tanaman pangan seperti padi, jagung; hingga tanaman hortikultura seperti jeruk, bawang merah, dan kubis.

Lanskap pedesaan begitu terbuka. Kami menuju ke arah di mana gugusan Gunung Butak-Kawi-Panderman tertancap ke bumi. Ia memanjang, bak seorang putri yang sedang tidur. Karenanya gugusan tersebut akrab disebut sebagai Pegunungan Putri Tidur. Di arah barat daya, tampak sejoli Gunung Arjuno dan Welirang menjulang. Namun, saat itu asap kebakaran terlihat jelas di lerengnya. Kemarau panjang -dan mungkin juga ulah manusia- membuat sebagian wilayah rimba Alas Lali Jiwo di dalamnya terpaksa ‘memasok’ gas beracun ke udara.

***

Rumah orang tua Anam di Dusun Krajan, Gadingkulon, itu hanya berpagar bambu. Namun dengan pekarangan yang mungkin lebih luas daripada rumah-rumah di perkotaan. Sejuk dan teduh, walau hanya beralas tanah tanpa paving layaknya di perumahan perkotaan.

Terdapat lahan berbentuk ‘L’ yang cukup untuk menanam bibit pohon, parkir motor, menjemur pakaian, dan sebidang tempat yang cukup untuk menempatkan tungku perapian untuk memasak. Dan masih ada ‘sisa’ tempat untuk bermain bersama cucu kembar orang tuanya. Keponakan Anam yang nyaris sulit dibedakan. Pakaiannya serupa, tingkahnya sama-sama aktif. Kedua mutiara milik kakak kandung perempuan Anam yang berkacamata itu bak pesilat Wong Fei Hung, namun tanpa kuncir rambut panjang di kepalanya.

Sudut rumah berisi tungku perapian. Ibunda Anam masih menggunakan ini untuk memasak, meskipun memiliki kompor gas. Foto oleh Rifqy Faiza Rahman

“Tapi Fathan lebih gampang bergaul dengan orang asing dibandingkan Fadil,” ujar Anam menerangkan sifat kedua bocah kembar berusia 2,5 tahun itu. Fathan lahir sekitar 2-3 menit setelah Fadil, namun ia dianggap sebagai kakak karena tubuhnya lebih besar.

Ibunda Anam dengan busana bersahaja menyambut kami sangat ramah, murah senyum. Seorang ibu rumah tangga yang murah senyum. Selain menjamu kami, Ia, bersama Ibu dua anak kembar itu -anak sulungnya yang juga seorang ibu rumah tangga-, tampak awas dengan polah si kembar.

Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang sederhana. Berperabot sofa coklat dan meja yang menghadap dua kamar tidur. Serta lemari kayu berpintu kaca yang menghadap pekarangan, yang terlihat foto-foto Anam saat diwisuda menjadi sarjana Perikanan.

“Akhirnya kesampaian juga main ke rumahmu, Nam,” cetus saya sambil terkekeh. Anam terkikik, menyadari keinginan saya dua tahun lalu setelah kami kenal di komunitas yang saya dirikan bersama kedua sahabat.

Kepengen main ke rumahmu Nam, kapan gitu. Kangen suasana pedesaan seperti di rumah Nenek di Pacitan. Kata saya waktu itu.

Sekarang, Anam sedang ada di rumah. Setiap akhir pekan, ia hampir selalu menyempatkan pulang setelah bekerja dari Senin-Sabtu di pabrik pengolahan ikan di Dampit, Malang.

Rumah orang tuanya berada di lingkungan khas desa yang menyenangkan, nyaman. Walau telah dimasuki berbagai arus modernisasi, tetap ia rindukan. Padahal, tempat kerjanya hanya berjarak tak sampai 1,5 jam dari rumah. Tak sampai menyeberang samudra menuju negeri yang jauh. “Terlebih para keponakan, mereka yang paling saya rindukan,” katanya.

Saya bersama si kembar, yang paling dirindukan Anam. Fathan nampak penasaran dengan kamera saya. (Dipotret oleh teman saya, Lutfi)

Tanpa disadari, Fathan ikut bergabung bersama kami. Di pangkuan Anam, ia berceloteh, menanggapi pertanyaan-pertanyaan sederhana dari Anam.

“Ayo, wingi melu Bapak nang ndi? -Ayo kemarin ikut Bapak ke mana?”

Nang Landungsari -ke Landungsari,” ujarnya polos. Landungsari adalah sebuah kelurahan padat di dekat perbatasan Kecamatan Lowokwaru (Kota Malang) dan Dau. Di sanalah terletak kampus swasta terkemuka Universitas Muhammadiyah Malang dan terminal bus Landungsari yang melayani trayek Malang-Jombang atau Malang-Kediri. Angkutan kota jurusan Arjosari (berkode ADL/AL), Gadang (berkode GL/LDG), dan Batu juga bertempat di sini.

Nyapo nang Landungsari? -ngapain ke Landungsari?” tanya Anam lagi.

Ndelok bis,  ambek numpak truk -lihat bus, sama naik truk,” jawabnya tegas.  Tawa pun pecah seisi ruang tamu. Senyum juga diperlihatkan Ibunda Anam kala mengantarkan jamuan teh hangat di meja.

Si Fadil masih tampak malu-malu di hadapan kami. Di pekarangan rumah, ia memilih bergelayut manja di pelukan sang ayahnya, yang bekerja sebagai pramusaji di rumah makan milik temannya di kota Malang.

Terkadang kakeknya, Ayahanda Anam, turut mengambil peran mengasuh sang cucu. Di balik jemarinya yang kasar hasil dari beternak pembesaran ayam broiler, di balik karakternya yang pendiam dan kalem, tersimpan kelembutan sebagai seorang kakek. Sesuatu yang dilakukan sama seperti saat mengasuh Anam dahulu.

“Apa agendanya pagi ini, Rek?” tanya Lutfi, teman yang saya bonceng saat berangkat tadi menyahut. Ah iya, saya belum menyampaikan agenda utama di Minggu pagi ini. Dipikirnya hanya sekadar bertamu.

“Kita mau jalan-jalan santai ke Coban Parangtejo, Pi. Sekalian mumpung dekat,” kata saya. Berjarak 1 jam dari rumah, memang ada sebuah air terjun yang menjadi oase kehidupan bagi warga desa.

Tapi, denyut laku keluarga kecil di dalam rumah sederhana ini malah membuat betah. Seakan-akan ingin segera cepat ke air terjun, lalu segera kembali ke sini. Saya hanyalah tamu, tapi seakan berada di rumah sendiri.

***

“Ayo, Mas-masnya, monggo sarapan. Maaf ya, seadanya. Ya begini ini di desa,” ujar Ibunda Anam sembari bersiap memandikan cucunya. Di balik jilbab yang panjangnya sebahu, senyumnya begitu tulus, lugu.

Nggih, Bu. Wah, saya malah senang tinggal di desa kayak begini, Bu. Ayem rasanya,” balas saya, dengan senyum lebih lebar. Kami sama-sama terkikik. Toh, saya dulu juga lahir di desa dan akan tetap mengaku sebagai anak desa.

Sarapan dengan menu khas pedesaan sebelum jalan-jalan ke air terjun. Tampak Anam sedang berpose menghadap kamera. Foto oleh Rifqy Faiza Rahman

Ruang makan berlantai ubin yang menyatu dengan dapur itu cukup lapang, setidaknya sekitar 3×3 meter. Mengingatkan saya dengan rumah nenek di desa dulu, yang malah beralas tanah. Klasik, namun menenteramkan.

Bersama dengan yang lain, kami melingkari meja makan yang penuh dengan makanan, dengan uap yang mengepul, tanda masih hangat. Seporsi nasi, lodeh, ayam goreng dan sambal adalah menu sarapan kami. Bahan-bahan makanan tersebut sebelumnya dimasak di atas tungku kayu bakar. Khas pedesaan. Tapi memberikan ketentraman hati dan kelegaan pikiran yang luar biasa.

Tiba-tiba, saya teringat akan kampung halaman. Berada di dusun ini, di rumah ini, sedikit menjadi obat untuk sejenak di tengah perantauan. Saya benar-benar merindukan rumah. Sebenar-benarnya rumah. (*)

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU