Menjamur di Jogja, Ide Warung Burjo Berasal dari Lurah di Kuningan

Ide pembukaan Warung Burjo muncul saat usia Indonesia masih belia, baru merdeka 2 tahun kala itu. Cerita selengkapnya asal mula burjo bisa cek di sini.

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Kalau kamu jalan-jalan ke Jogja, menemukan warung Burjo bukanlah hal yang sulit. Hampir di setiap gang atau pun jalanan kota terdapat satu atau pun dua warung burjo.

Meski Warung burjo mudah dijumpai di Jogja dan Semarang, nyatanya warung sahabat mahasiswa/i dan backpacker ini pertama kali diinisiasi oleh lurah Kuningan, Salim Saca Sacana.

Baca juga: Ternyata kuliner lokal khas Indonesia ini berasal dari luar negeri.

Ide pembukaan Warung Burjo muncul saat usia Indonesia masih belia, baru merdeka 2 tahun kala itu. Sebagai negara yang baru saja merdeka, Indonesia mengalami ketidakstabilan politik dan ekonomi. Makin diperparah dengan perseturan antara Indonesia dan Belanda yang belum juga usai.

Potret Warung Burjo dulu kala. Foto dari warungburjosindanghayu.blogspot.com

Akibatnya, kebutuhan pokok meningkat tajam, rupiah terjatuh. Keadaan pelik tersebut membuat rakyat Indonesia berada di posisi sulit. Mau tak mau mereka harus kreatif dan melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup.

Kondisi ekonomi yang serba sulit terjadi di seluruh pelosok Indonesia, tak terkecuali daerah Jawa Barat. Namun, warga Jawa Barat khususnya daerah Kuningan tak serta merta diam. Yang paling tersohor melakukan usaha perubahan adalah Rurah Salim Saca (Lurah dalam bahasa Sunda).

Keterampilan membuat Bubur dari Kacang Hijau, yang dimiliki Rurah Salim, adalah cikal bakal dari usaha warung burjo. Ia bahkan mengklaim sebagai orang pertama yang membuat bubur kacang ijo (Burjo).

Awal jualan burjo, Salim hanya sekadar uji coba. Selanjutnya Burjo hasil racikan Rurah Salim ini disebarkan secara cuma-cuma kepada orang-orang di lingkungannya. Bahan yang digunakan pun sama seperti bubur kacang ijo yang kita kenal sekarang. Bedanya, dulu bubur kacang ijo dimasak menggunakan Se’eng, yaitu wadah yang terbuat dari tembaga dan biasa digunakan untuk memasak nasi.

Baca juga: Siapa sangka, Lunpia Semarang dibuat oleh sepasang suami istri dari Jawa dan Tiongkok

Kemudian, setelah bubur kacang ijo siap, Salim memikul dan berkeliling kampung. Mula-mula, Salim membagikan bubur kacang ijo tersebut secara cuma-cuma.

Siapa sangka, banyak orang yang menyambut suka cita olahan bubur kacang ijonya. Hal ini lantas mematik Rurah Salim untuk berdagang Burjo.

Aneka olahan mi instan, nasi sarden, nasi magelangan, mi dok-dok pun ada. Foto dari hipwee

Ia pun mulai berjualan burjo dari pagi hingga siang dengan berkeliling. Rute yang ditempuh dimulai dari jalan Cigodeg-kebumen, terminal bus (sekarang TamKot), depan Masjid Agung Kuningan, pasar lama, pertokoan Jalan Siliwangi, perempatan Jalan Citamba, dan berakhir mangkal di pasar tradisional yang berdekatan dengan ex.bioskop ciremai dan ex. Kantor Mapolres (sekarang jalan Langlang Buana).

Beberapa tahun kemudian tepatnya pada 1950, Rurah Salim Saca berjualan Burjo di kota Kuningan dengan membuka warung sederhana. Setelahnya, banyak orang berinisiatif untuk mengikuti jejak Rurah Salim sebelum akhirnya disebarkan oleh warga Kuningan ke kota-kota lain di Indonesia seperti Jogja, Semarang, Jakarta, Solo, dan banyak lainnya.

Seiring berkembangnya jaman, Warung Burjo pun tidak hanya menjual bubur kacang hijau, ketan hitam saja, kini lebih variatif dengan menu makanan mengenyangkan cepat saji seperti mi instan, magelangan, nasi goreng, nasi sarden, nasi telor.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU