Tari selalu menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Selain sebagai suatu penampilan seni, tari juga dilakukan untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Di Banyumas, terdapat sebuah tarian yang tak hanya membuat masyarakat, tetapi juga dunia, jatuh cinta akan keindahannya. Tarian tersebut bernama Lengger Lanang dan telah ada sejak ratusan tahun sebelumnya. Dilihat dari namanya yang mencantumkan kata “Lanang”, penari yang melakukan Lengger Lanang semuanya adalah laki-laki yang menyerupai perempuan.
Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tarian Lengger Lanang telah ada di tengah-tengah masyarakat Banyumas. Namun, budaya ini telah tercantum dalam Serat Centhini, karya kesusasteraan Jawa tentang pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada abad 19.
Karya sastra ini merupakan hasil tangan dari Pangeran Adipati Anom, seorang putra Susuhan Pakubuwana IV, beserta tiga pujangga lain. “Lengger saat itu (dalam Centhini) adalah laki-laki yang memerankan wanita,” ujar Ahmad Tohari, dilansir dari Kompas.
Lengger Lanang bukan sebuah tarian biasa. Budaya ini lahir dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Kesuburuan dan sudah terus dipraktikkan sejak dahulu. Tak hanya Lengger Lanang, tari Ronggeng juga berasal dari tradisi yang sama. Namun, yang membedakannya adalah tari Ronggeng hanya dilakukan oleh penari perempuan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, tarian Lengger Lanang hanya dilakukan oleh laki-laki namun mereka berpakaian dan berdandan sebagai perempuan.
Tak sembarang orang yang bisa benar-benar menghayati menjadi penari Lengger Lanang. Butuh proses yang panjang dan berliku untuk bisa menjadi seorang penari yang tak hanya paham tetapi juga mendalami budaya ini. Persiapannya pun bermacam-macam, seperti berpuasa, bertapa di tempat yang penting, dan tentunya berlatih. Bahkan salah satu penari Lengger Lanang yang terkenal, mendiang Mbok Dariah, dimasuki indang lengger (roh lengger) sewaktu kecil.
Tarian Lengger Lanang, dibuat dengan gerakan sederhana, diulang-ulang, dan tidak canggih agar budaya ini bisa dikuasai dan dimiliki oleh semua orang. Pada Kongres Lengger Nasional, Lengger Lanang diminta untuk tidak dijadikan adiluhung (kesenian yang elit-red.) agar tidak menjadi budaya yang elit dan lebih mudah punah. Maka dari itu, Anda bisa menemukan penampilan Lengger Lanang di berbagai daerah di Banyumas.
Walaupun merupakan budaya yang berhubungan dengan transgender, Lengger Lanang telah menjadi bagian dari masyarakat Banyumas dari turun-temurun. Pada masanya, bahkan mendiang Mbok Dariah menjadi orang yang sangat dihormati karena beliau seorang penari Lengger Lanang. Namun, hal tersebut berubah sejak Peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi. Saat itu, para seniman tradisional ditangkap karena ditenggarai menganut dan menyebarkan aliran komunisme. Bahkan mendiang Mbok Dariah harus menjadi seorang penata rias agar tidak ditangkap oleh pemerintah.
Akan tetapi, seiring dengan tumbuhnya rasa melestarikan budaya Indonesia, Lengger Lanang mulai mendapatkan perhatian kembali. Pada tahun 2011, mendiang Mbok Dariah mendapatkan anugerah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kategori Maestro Seniman Tradisional.
Tak hanya itu, Didik Nini Thowok, seniman asal Yogyakarta yang sudah terkenal di kancah dunia, berkolaborasi dengan mendiang Mbok Dariah. Hal ini menunjukkan bahwa Lengger Lanang telah mendapatkan panggung untuk bersinar kembali. Penari-penari Lengger Lanang pun mulai muncul kembali demi menjaga kelestarian budaya Banyumasan ini.
Setiap budaya yang dimiliki orang Indonesia pastinya memberikan kebaikan kepada sesama walaupun berbeda. Maka dari itu, kita sebagai warga Indonesia harus bangga bisa menjadi bagian dari kultur yang indah nan bersejarah ini.