Bissu Pendeta Bugis Bergender Kelima yang Mulai Terlupakan di Sulawesi

Tak memiliki gender, Bissu tetap menjadi orang yang sangat dihormati dalam kebudayaan suku Bugis di Sulawesi. Namun kini keberadaannya mulai memprihatinkan.

SHARE :

Ditulis Oleh: Astrid S

Indonesia memiliki ragam budaya yang unik dan tak bisa ditemukan di tempat lain. Keunikan ini menjadi ciri khas dan jati diri dari masyarakat daerah setempat.

Di daratan Sulawesi, masyarakat Bugis memiliki seorang pendeta atau imam spiritual yang dikenal dengan sebutan Bissu. Hal yang membuat Bissu menjadi unik adalah fisiknya yang seperti laki-laki namun penampilan dan perilakunya yang feminin seperti perempuan. Bissu dipercaya tidak memiliki gender seperti yang kita pelajari di buku biologi namun ia memiliki peran tertinggi dalam kehidupan suku Bugis.

Baca Juga: Selain Lelaki dan Perempuan, Masyarakat Bugis Ternyata Punya Klasifikasi Gender Lain

Sejak abad ke-13, Bissu mendapatkan posisi tertinggi dalam kehidupan masyarakat Bugis. Dalam La Galigo, kitab tertua kebudayaan Bugis, mereka dianggap setengah manusia dan setengah dewa.

Bissu yang selalu memimpin seluruh kegiatan yang berhubungan dengan spiritualitas, mulai dari upacara memulai panen hingga pernikahan. Kecamatan Segeri di Sulawesi Selatan telah menjadi rumah para imam tinggi Bugis selama berabad-abad.

Bukan Laki-Laki, Bukan Perempuan

Dalam kepercayaan masyarakat Bugis, Bissu tidak masuk dalam penggolongan gender tertentu. (Hariandi Hafid/Beritagar)

Masyarakat Bugis memiliki pemahaman cukup unik mengenai gender. Dalam buku Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis In Indonesia karya Sharyn Graham Davies, masyarakat Bugis memiliki 5 (lima) penggolongan gender dalam kehidupan manusia. Di antaranya yaitu Makkunrai (perempuan), Oroané (laki-laki), Calabai (laki-laki feminin yang berpakaian seperti perempuan), Calalai (perempuan maskulin yang berpakaian seperti laki-laki), dan Bissu (pendeta dan imam besar yang tidak memiliki gender).

Dari berbagai penelitian, ditemukan bahwa kebanyakan Bissu awalnya adalah seorang Calabai atau laki-laki feminin. Namun, tidak semua Calabai adalah seorang Bissu. Seseorang bisa menjadi Bissu jika ia mendapatakan petunjuk atau ilham melalui mimpi. Ada pula beberapa tanda kemunculan calon Bissu baru yang hanya diketahui oleh Bissu sendiri.

Bissu memimpin berbagai perayaan penting masyarakat Bugis. (Good News From Indonesia)

Akan tetapi, perjalanan mereka tidak terhenti sampai situ saja. Mereka wajib mengikuti ritual irreba, yaitu calon Bissu dimandikan dan dikafani. Selama 3-7 hari melakukan irreba, calon Bissu dilarang untuk makan dan minum. Hal ini dilakukan guna menghilangkan nafsu duniawi dari para bissu sehingga mereka nantinya hanya berfokus untuk memimpin kehidupan spiritual masyarakat Bugis dan memenuhi titah raja.

Mulai Tergerus oleh Waktu

Bissu Matang (80) selalu berziarah di gua bekas persembunyian para Bissu pada masa Operasi Toba. (Rizky Rahadianto/VICE Indonesia)

Walaupun agama Islam masuk ke Sulawesi dan banyak rakyat yang akhirnya memeluk agama Islam, posisi Bissu masih dihargai. Malah ajaran Islam berakulturasi dengan kepercayaan setempat sehingga muncul budaya baru yang memperkaya tradisi Bugis. Nama-nama dewa dan mantra pun diubah menjadi nama-nama Islam.

Pergeseran status Bissu di masyarakat mulai bergeser ditandai dengan 2 (dua) kejadian besar di Indonesia. Yang pertama adalah Operasi Toba, yaitu pemberontakan yang dilakukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1950an. Di bawah pimpinan Kahar Muzakkar, para Bissu diburu dan dibantai karena mereka dianggap menyalahi ajaran Islam. Hal ini membuat para Bissu akhirnya kabur dan tinggal di gua untuk tetap mempertahankan dirinya.

Kejadian yang kedua adalah munculnya isu Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1960-an. Meskipun mereka tidak diburu dan dibunuh, mereka dipaksa untuk berperilaku dan berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya. Mereka juga dianggap tidak bertuhan karena menyembah dewa dan animisme.

Baca Juga: Masyarakat Suku Bugis Makassar Menyabut Ramadhan dengan Tradisi Suru Maca

Saat ini, Bissu bekerja untuk menghidupi kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah menjadi penata rias pengantin (Sofyan Syamsul/Femina)

Walaupun kejadian tersebut sudah terjadi beberapa tahun lalu, namun dampaknya masih terasa bagi para Bissu. Mereka tidak dipandang tinggi seperti dahulu. Bahkan mereka harus mencari uang sendiri dengan bekerja dan dianggap kembali ketika adanya upacara-upacara besar masyarakat Bugis.

Keberadaan Bissu sudah terancam karena adanya penolakan khususnya dari konsep gender yang mereka yakini dan apa yang mereka percayai.

Terlepas dari hal tersebut, setiap orang memiliki hak untuk hidup di tanah air tercinta. Berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan bukanlah hal yang perlu disamakan. Namun keragaman perlu kita hargai agar timbul rasa persatuan sebagai orang Indonesia dalam diri masing-masing orang.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU