Makna Fenomena Gerhana bagi Warga Sunda dan Mitos yang Menyertainya

Masyarakat Sunda lama memaknai fenomena gerhana sebagai suatu pertanda akan peristiwa yang akan terjadi. 

SHARE :

Ditulis Oleh: Himas Nur

Fenomena gerhana bulan total akan segera terjadi pada 28 Juli mendatang. Berbagai persiapan telah dilakukan untuk proses pengamatan, dan kini bahkan fenomena tersebut bisa kita amati melalui live streaming.

BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) melalui akun twitternya menjelaskan bahwa gerhana bulan total dapat diamati melalui live streaming di laman resmi BMKG.

Baca Juga: Kabar Gembira, Gerhana Bulan 28 Juli Bisa Disaksikan secara Live Streaming

ilustrasi gerhana bulan (Foto/nasa.gov)

Namun, di balik gegap gempita momen fenomena langka ini, terdapat bermacam reaksi yang dilakukan orang-orang pada masa lampau dalam menyambut datangnya fenomena langit tersebut.

Begitu pula pada apa yang dilakukan oleh orang-orang Sunda. Dalam catatan Mamat Sasmita di harian Pikiran Rakyat edisi 3 April 2017, orang-orang Sunda biasanya akan membunyikan tetabuhan agar peristiwa tersebut segera berlalu.

“Mun samagaha bulan, baheula mah sok ramé tatakolan. Majar bulan jeur dilegleg naga […] Mun samagaha panonpoé, ieu gé sok ramé tatakolan, majarkeun panonpoé keur kawin jeung bulan (Jika terjadi gerhana bulan, dulu kerap ramai tetabuhan, katanya bulan ditelan naga […] Jika gerhana matahari, ini juga kerap ramai oelh tetabuhan, katanya matahari tengah kawin dengan bulan,” tulisnya.

Kebiasaan masyarakat Sunda yang memukul tetabuhan masih dilakukan sekitar warsa 1960-an hingga 1970-an. Dilansir Tirto, Mamet Sasmita menjelaskan bahwa kebiasaan tersebut tidak menjadi penghalang bagi sebagian masyarakat lain yang hendak melakukan salat sunah gerhana.

Ia menambahkan Mereka juga tidak saling melarang kebiasaannya masing-masing. Bahkan menurutnya, anak-anak kiai pun ikut berlari-lari sambil memukul tetabuhan tersebut.

Mitos gerhana di Indonesia (Foto/Okezone)

Masyarakat Sunda lama memaknai fenomena gerhana sebagai suatu pertanda akan peristiwa yang akan terjadi.

“Misalkan, dalam kalender Sunda, itu jatuhnya pada 28 Juli, hari Sabtu dan Purnama. Tetapi ini ada samagaha (gerhana), sementara samagaha itu gelap, mereka yang menganggap primbon sebagai tuntunan hidupnya, [peristiwa] itu sebagai pertanda akan adanya peristiwa-peristiwa seperti gempa, angin besar, dan lain-lain di samagaha sekarang ini,” tutur Mira M. Mihardja, penggiat Bengkel Studi Budaya pada Tirto.

Baca Juga: Gerhana Bulan Terlama Abad Ini Akan Diamati dari Aceh hingga Papua

Orang Sunda pun memakai peristiwa di langit dalam menamai waktu demi waktu dalam sehari, 24 jam dalam beberapa interval.

Misalnya dari pukul 7 sampai 8 disebut wanci meletek panon poé atau waktu saat matahari mulai muncul, pukul 10 sampai 11 disebut wanci rumangsang atau ketika matahari telah tinggi, pukul 17 sampai 18 disebut wanci sariak layung atau saat langit senja berwarna kuning kemerah-merahan.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU