Letusan Tambora di Pulau Sumbawa yang maha dahsyat pada 1815 silam, rupanya memiliki pengaruh besar bagi perkembangan sejarah, tak hanya di Indonesia, bahkan juga dunia.
Tercatat bahwa pada Juni 1816, Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis berpengaruh yang menaklukan hampir seluruh dataran Eropa akhirnya harus bertekuk lutut dalam pertempuran Waterloo.
Peristiwa kekalahan ini tak hanya pukulan telak bagi bangsa Perancis, namun juga mengubah jalannya sejarah Eropa. Namun siapa sangka, kondisi tak bersahabat yang dialami Bonaparte disebabkan oleh kekuatan alam yang berjarak ribuan kilomater.
Kondisi ini tak lain adalah dampak dari erupsi gunung Tambora di Pulau Sumbawa yang menewaskan sekitar 100.000 orang, dua bulan sebelumnya.
Selain membuat Bonaparte kalah telak, letusan Tambora juga berdampak pada penurunan suhu global yang membuat gagal panen serta kelaparan. Tak heran, fenomena alam itu dijuluki sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas”.
Menurut Dr Matthew Genge dari Imperial College London yang melakukan penelitian tentang Tambora, ia menemukan bahwa abu vulkanik letusan Tambora dialiri listrik dan dapat memendekkan arus listrik ionosfer, lapisan atas atmosfer yang bertanggung jawab dalam pembentukan awan.
Akibatnya terjadi pembentukan awan yang kemudian diikuti dengan hujan lebat di seluruh Eropa dan menyebabkan kekalahan Napoleon Bonaparte.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Geology, Selasa (21/8/2018) menunjukkan bahwa letusan gunung berapi dapat menghempaskan abu jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya, yakni mencapai sekitar 100 kilometer di atas permukaan tanah.
Serangkaian percobaan menunjukkan bahwa kekuatan elektrostatik dapat mengangkat abu jauh lebih tinggi daripada daya apung sendiri.
Genge menggunakan simulasi untuk menghitung seberapa jauh abu vulkanis yang bermuatan bisa naik. Ia kemudian menemukan bahwa partikel yang lebih kecil dari 0,2 juta meter diameternya bisa mencapai ionosfer selama erupsi besar.
“Gumpalan dan abu vulkanik dapat memiliki muatan listrik negatif dan mendorongnya tinggi ke atmosfer. Efeknya sangat mirip seperti dua magnet didorong menjauh satu sama lain jika kutub mereka cocok,” ungkap Genge dilansir Science Daily.
Tak sampai disitu, Genge juga mencoba membandingkan erupsi besar lain yang terjadi untuk menguji teorinya. Ia kemudian memeriksa catatan cuaca setelah letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.
Data menunjukkan suhu rata-rata lebih rendah dan curah hujan berkurang setelah letusan dimulai. Sementara curah hujan global menurun selama letusan daripada periode sebelum atau sesudah letusan.
Genge juga menemukan laporan gangguan ionosfer setelah letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991 di Filipina. Selain itu, awan dengan tipe khusus juga muncul lebih sering setelah letusan Krakatau.
Awan noctilucent jarang ditemui dan bercahaya, terbentuk di ionosfer. Hal ini memberikan bukti adanya peningkatan debu elektrostatik dari letusan gunung berapi besar.