Konflik Turki-Yunani, Genosida Kristen oleh Kesultanan Utsmaniyah

Pada tahun 1919, konflik Turki-Yunani mencapai puncaknya. Selama tiga tahun (1919-1922), terjadi Perang Yunani-Turki atau juga dikenal Perang Asia Kecil.

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Penetapan Hagia Sophia menjadi masjid menuai kecaman dari berbagai pihak, dan turut menyalakan kembali sentimen agama di Turki. Banyak pihak mengutuk tindakan Presiden Erdogan atas keputusannya, tidak terkecuali Yunani. Meskipun Hagia Sophia berada di wilayah administratif Turki, namun sosok yang membangun Hagia Sophia adalah bangsa Yunani di bawah Kekaisaran Bizantium pada abad ke-5 M.

Hagia Sophia memiliki makna yang mendalam bagi bangsa Yunani karena menjadi Katedral Ortodoks sekaligus kedudukan bagi Patriark Ekumenis Kontantinopel. Sebelum invasi bangsa Turk, Kedudukan Hagia Sophia saat itu setara dengan Basilika Kepausan Santo Petrus di Vatikan. Penetapan Hagia Sophia menjadi masjid membuka luka lama bangsa Yunani atas bangsa Turk sehingga semakin memperburuk hubungan kedua negara.

Turki Menjajah Bangsa Yunani

Jauh sebelum Negara Turki berdiri, tanah yang sekarang menjadi wilayah administratif Turki merupakan tempat tinggal bagi bangsa Yunani sejak masa Homeros sekitar 800-an SM. Di bawah Kekaisaran Bizantium, budaya dan peradaban bangsa Yunani berkembang dengan pesat. Namun semua itu berakhir setelah bangsa Turk melakukan invasi di bawah Kesultanan Utsmaniyah hingga menyebabkan Kekaisaran Bizantium runtuh.

Pelarian bangsa Yunani ke luar wilayah Turki (au.greekreporter.com).

Setelah invasi tersebut, bangsa Yunani masih diijinkan tinggal, meskipun semua unsur budaya serta agama Kristen Ortodoks dihancurkan dan diganti dengan Islam. Ketika Perang Dunia I pecah, kekejaman terhadap bangsa Yunani dimulai. Otoritas pemerintahan Utsmaniyah takut bahwa bangsa Yunani akan membantu musuh-musuhnya. Ditambah dengan kepercayaan bangsa Turk, untuk mendirikan bangsa yang modern perlu menyingkirkan bangsa asing yang dapat mengancam integritas negara.

Ketika itu, seluruh bangsa Yunani di Turki dibunuh secara sistematis yang dikenal dengan peristiwa Genosida Yunani. Peristiwan ini dilakukan oleh Kesultanan Utsmaniyah terhadap bangsa Yunani, meliputi pembantaian, deportasi paksa yang melibatkan perjalanan maut, pengusiran di tempat, ekseskusi acak, dan penghancuran unsur budaya, sejarah, dan monumen Kristen Ortodoks. Ratusan ribu bangsa Yunani tewas.

Bangsa Yunani yang selamat melarikan diri ke tanah yang sekarang dikenal dengan Yunani. Jumlahnya sekitar seperempat penduduk Yunani saat itu. Sedangkan yang berada di provinsi timur Turki melarikan diri dan mencari suaka kepada Kekaisaran Rusia. Pilihannya hanya dua, pergi dari tanah leluhur atau mati dibantai secara keji. Latar belakang sejarah inilah yang kemudian menyebabkan hubungan kedua negara menjadi buruk.

Ilustrasi perang antara Turki dan Yunani (wikipedia.org).

Perang Turki-Yunani

Pada tahun 1919, konflik Turki-Yunani mencapai puncaknya. Selama tiga tahun (1919-1922), terjadi Perang Yunani-Turki atau juga dikenal dengan Perang Asia Kecil. Saat itu, militer Yunani melawan Gerakan Nasional Turki yang kelak akan mendirikan Negara Turki. Kesultanan Utsmaniyah telah terbagi sejak Perang Dunia I selesai. Turki keluar sebagai pemenang dalam perang ini, dan lahir kesepakatan Lausanne.

Kesepakatan Lausanne mengatur perubahan wilayah Yunani, dimana Yunani memberikan semua teritori yang didapat selama perang melawan Kesultanan Utsmaniyah kepada Republik Turki. Yunani kemudian kembali ke perbatasan sebelum perang. Tidak hanya itu, juga terjadi pertukaran populasi antara Turki dan Yunani. Setelah perang berakhir, Republik Turki resmi berdiri dan Sekutu pun mengakui kemerdekaannya.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU