Ternyata tak hanya Thailand yang punya banyak klasifikasi gender, nyatanya masyarakat Bugis juga melakukan yang sama meski tak sebanyak Thailand.
Dalam sebuah buku berjudul ‘Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia’ yang terbit pada tahun 2007, dijelaskan bahwa msyarakat Bugis memiliki lima klasifikasi gender.
Buku ini ditulis atas penelitian yang dilakukan oleh dosen muda Auckland University of Technology di New Zealand bernama Sharyn Graham yang datang langsung ke Sulawesi Selatan. Menurutnya, masyarakat Bugis membagi gender berdasarkan status biologi (jenis berdasar alat kelamin) serta gender (berdasar pada perilaku dan perasaan).
Lalu, gender apa sajakah yang ada di masyarakat Bugis? Berikut ulasannya.
Dua gender yang umum diketahui adalah lelaki dan perempuan. Di mana saat seseorang dilahirkan sebagai seorang lelaki maka ia akan punya sosok maskulin dan akan berstatus kepala rumah tangga dan ayah setelah menikah.
Begitu juga saat dilahirkan sebagai perempuan, maka ia akan tumbuh sebagai perempuan tulen. Yang tugasnya melahirkan, menyusui anak, serta menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga.
Bissu merupakan perpaduan antara gender lelaki dan perempuan. Bagi masyarakat Bugis, Bissu dianggap sebagai figur spiritual yang bisa menghubungkan manusia dengan dewa dan dunia lain. Seorang Bissu bisa dilahirkan dari lelaki maupun perempuan.
Dalam kesehariannya Bissu memiliki bahasa sendiri, yang disebut sebagai bahasa langit. Para Bissu kerap memakai badi’ (pisau) yang biasanya merupakan pakaian lelaki, serta menyelipkan bunga di kepala layaknya perempuan.
Peran Bissu dalam masyarakat adalah sebagai tempat meminta keberkahan, terutama ketika tiba musim akan bercocok tanam.
Calabai digambarkan seperti lelaki berjiwa perempuan, yang merasa terperangkap dalam tubuh maskulin. Tapi meski begitu, mereka tidak menganggap bahwa dirinya adalah perempuan, dan juga tidak dianggap perempuan oleh masyarakat.
Calabai ini hanya seorang lelaki yang melakukan segala aktivitas yang dilakoni oleh perempuan. Misalnya, saat ada pesta pernikahan mereka yang bertugas memasak, mengurus dapur, serta sederet tugas para perempuan lain.
Calalai adalah oposisi dari Calabai, di mana seorang perempuan justru melakukan pekerjaan dan aktivitas para lelaki. Dalam buku yang ditulis oleh Sharyn, para Calalai menekuni pekerjaan berat seperti membuat peralatan logam seperti keris, pisau, pedang. Mereka juga menekuni bidang seperti supir angkot, tukang bangunan, pekerja kasar, dll.
Bahkan yang lebih unik, Calalai juga bisa merokok, berpakaian serta berkumpul dengan lelaki. Namun lagi-lagi, mereka juga tidak dianggap lelaki serta tidak berniat menjadi seorang lelaki.