Kesakralan Kirab Satu Suro di Keraton Surakarta

SHARE :

Ditulis Oleh: Vania Malinda

Abdi Dalem Keraton Surakarta mengitari jalanan Solo sambil membawa benda pusaka.

Tahun Baru Hijriyah atau bagi masyarakat Jawa di Indonesia lebih dikenal dengan malam satu Suro merupakan malam yang amat sakral. Pada malam ini, masyarakat Jawa di Indonesia melakukan berbagai macam ritual tergantung dengan daerahnya masing-masing. Seperti contohnya di Yogyakarta diadakan Tapa Bisu Mubeng Benteng, di Solo diadakan Kirab satu Suro Keraton Surakarta, sedangkan di Semarang ada tradisi Kungkum yaitu berendam atau memandikan benda kesayangan.

Sesuai dengan namanya, Malam Satu Suro dilaksanakan pada malam hari tepatnya malam sebelum tanggal 1 Muharram tersebut. Tahun ini malam satu Suro  jatuh pada tanggal 21 September, yang juga merupakan malam Jumat Kliwon. Ritual ini selama ratusan tahun selalu dilaksanakan oleh Kerajaan yang ada di Jawa, seperti di Surakarta secara turun temurun. Makna dari Ritual Malam 1 Suro ini ialah refleksi diri atau mengingat kembali kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat selama satu tahun ini. Malam satu suro menandai bergantinya tahun, sehingga pada lembaran baru ini diharapkan berubahnya sifat kita menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kirab dimulai dari Kori Kamandungan ke Alun – alun Utara, Gladag, memutari benteng vastenberg, menuju arah Pasar Kliwon dan Slamet Riyadi, kemudian kembali lagi ke Kori Kamandungan dan diakhiri di dalam Keraton.

Pada malam Ritual Kirab Satu Suro di Keraton Surakarta, ribuan orang berpartisipasi. Mulai dari Raja beserta keluarga dan kerabat, kemudian abdi dalam wilayah Solo Raya , hingga masyarakat umum. Tidak ketinggalan pula Kebo Bule sebagai cucuk lampah atau pemimpin kirab keturunan dari Kyai Slamet. Kebo Bule bukan kerbau biasa, konon kerbau-kerbau ini ialah pusaka yang amat berharga bagi Sri Susuhunan Pakubuwono II, karena diberi oleh Bupati Ponorogo. Kerbau itu diberikan kepada PB II bersamaan dengan pusaka bernama Kyai Slamet, sehingga Kerbau bule ini dinamakan Kerbau Kyai Slamet. Namun yang sekarang kita lihat di kawasan keraton ialah keturunan dari Kerbau Bule atau albino yang diberikan kepada PB II pada ratusan tahun silam. Kebo Bule ini karna dianggap merupakan sebuah pusaka maka diperlakukan tidak seperti kerbau pada umumnya, namun bisa sampai diperlakukan selayaknya seorang Pangeran atau keturunan Raja.

Mulanya abdi dalem memanjatkan doa-doa dan menebar sesajen di depan Kori Kamandungan sambil menunggu Kebo Bule datang, pada saat ini tidak seorang pun berani memaksa para kebo bule tersebut untuk berjalan memulai kirab. Mereka akan menunggu sampai kerbau-kerbau tersebut berjalan sendiri keluar kawasan Kori Kamandungan dan memimpi kirab malam itu. Dibelakang kawanan kebo bule, berbarislah Raja dan keturunan serta kerabatnya juga abdi dalam yang jumlahnya ribuan orang. Semua peserta kirab haruslah menggunakan pakaian warna hitam, dimana laki-laki menggunakan beskap Jawa berwarna hitam, dan wanita menggunakan kebaya berwarna hitam.

Mereka juga menggunakan kalung kain berwarna kuning bergaris merah yang bernama Samir. Samir disini memiliki makna izin untuk memasuki keraton, karena  keraton dipercaya tidak hanya ditempati oleh manusia, namun juga ada ‘penjaga’ dari dimensi lain. Kemudian ada juga yang menggunakan kalung bunga melati dan kemuning sebagai tanda penolak bala. Kemudian mereka juga tidak menggunakan alas kaki.

Iring-iringan Abdi Dalem kembali ke kawasan Keraton setelah melakukan kirab Satu Suro mengitari jalanan kota Solo.

Setelah barisan kebo bule berada di paling depan beserta pawangnya, barisan kedua dan selanjutnya ialah abdi dalem bersama putra-putri Sinuhun PB XIII dan juga Pembesar Keraton yang membawa sepuluh pusaka Keraton. Pusaka-pusaka tersebut juga dibungkus oleh kain dan dikalungi oleh kalung bunga melati. Selama prosesi kirab berlangsung tak satupun peserta kirab mengucapkan satu patah kata, hal tersebut memiliki makna perenungan diri terhadap apa yang sudah dilakukan selama setahun kebelakang.  

Yang unik ialah selesainya ritual ini dilaksanakan, banyak masyarakat yang mengambil kotoran kebo bule. Bagi sebagian orang, hal ini dipercaya membawa keberkahan dan juga kemakmuran. Banyaknya masyarakat biasa yang rela mengikuti ritual ini dari awal hingga akhir menunjukan bahwa ritual adat semacam ini mempunyai peluang untuk terus dilestarikan sampai seterusnya.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU