Kerajaan Thailand di Ujung Tanduk, Rakyat Ngamuk Inginkan Reformasi!

Nasib Kerajaan Thailand berada di ujung tanduk. Unjuk rasa berlangsung sejak Agustus 2020. Protes anti-pemerintah menuntut reformasi monarki di Thailand.

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Sebelumnya di dunia perpolitikan Thailand, mengkritik kerajaan adalah hal yang tabu dan bisa terancam kurungan penjara. Namun beberapa bulan terakhir, tabu ini dipatahkan ketika masyarakat melakukan unjuk rasa di Bangkok menentang keberlangsungan Kerajaan Thailand. Mereka berani mengkritik Raja Maha Vajiralongkorn dan menuntut perubahan.

Nasib Kerajaan Thailand berada di ujung tanduk. Unjuk rasa berlangsung sejak Agustus 2020. Protes anti-pemerintah bermula setelah pengadilan melarang partai oposisi yang dikenal vokal mengkritik pemerintahan dari mantan pemimpin junta militer Prayuth Chan-ocha. Aksi sempat berhenti ketika dilakukan pembatasan sosial terkait pandemi Covid-19.

Aksi unjuk rasa kemudian berlanjut pada pertengahan Juli 2020 menuntut pencopotan Prayuth, konstitusi baru, dan diakhirinya penyerangan aktivis. Para aktivis tidak bermaksud untuk mengakhiri monarki Thailand, hanya mereformasinya saja. Mereka ingin membalikkan konstitusi raja pada 2017 yang dibuat setelah setahun Raja Vajiralongkorn menggantikan ayahnya.

Gaya hidup mewah di tengah krisis Raja Vajiralongkorn dinilai sebagai tindakan yang tidak pantas. Selama Covid-19, raja menghabiskan banyak waktunya di Eropa. Raja juga telah menikah empat kali dan tahun lalu meminang permaisuri kerajaan. Para demonstran ingin raja melepaskan kendali pribadinya menguasai kekayaan istana dan beberapa unit tentara.

(dw.com)

Undang-Undang Lese Majeste

Kerajaan Thailand dilindungi oleh Pasal 112 dari KUHP negara yang berisi pernyataan bahwa siapapun yang mencemarkan nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, pewaris, atau anggota keluarga kerajaan akan dihukum 3 sampai 15 tahun penjara. Seringnya Undang-Undang ini malah disalahgunakan untuk membungkam kritik-kritik terhadap pemerintah.

Selama ini, Undang-Undang Lese Majeste benar-benar membuat keluarga kerajaan tidak tersentuh. Mengkritik raja dapat dikenai hukuman penjara. Bahkan undang-undang ini membuat media terbatas dalam melaporkan isu-isu seputar monarki Thailand. Para pengunjuk rasa ingin mengakhiri hukum Lese Majeste yang melarang penghinaan raja dan keluarganya.

Gaya hidup Raja Vajiralongkorn yang menghabiskan waktunya di Eropa bersama para selir-selirnya dan absen dari publik saat negaranya bergulat dengan krisis pandemi Covid-19 telah membuat rakyatnya muak. Sejak menggantikan ayahnya yang begitu dihormati, Raja Vajiralongkorn seolah ingin membangkitkan monarki absolut yang telah berakhir sejak 1932.

(dw.com)

Unjuk Rasa Besar Selama Empat Hari

Unjuk rasa selama empat hari berturut-turut telah membuat suasana kota Bangkok begitu mencekam. Meskipun telah dilarang oleh pihak berwenang, para aktivis pro-demokrasi sama sekali mengacuhkannya. Jumat (16/10) lalu, unjuk rasa sempat ricuh saat polisi menggunakan water cannon untuk menghadang massa. Namun setelahnya unjuk rasa berlangsung kondusif.

Semua akses transportasi ditutup untuk mencegah aksi unjuk rasa. Tapi itu sama sekali tidak mengurungkan niat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Dengan uang seadanya mereka menyewa taksi, beberapa bahkan berjalan kaki demi agar tercapainya reformasi monarki dengan mengadopsi nilai-nilai yang lebih demokratis dan mengakhiri monarki absolut.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU