Kerajaan Aru merupakan sebuah negeri yang pernah berdiri di kawasan pantai timur Sumatera Utara sekarang pada abad ke-13 hingga 16 Masehi. Keberadaan negeri ini masih simpang siur, beberapa literatur menyebut lokasinya berada di Telok Aru di Kaki Gunung Seulawah (Aceh Barat), kemudian Lingga, Berumun, bahkan di Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang.
Berdasarkan temuan aktivitas arkeologi, Kerajaan Aru sempat berpindah-pindah. Pada abad ke-13 sampai 14 Masehi, Kerajaan Aru berpusat di Kota Rentang (Hamparan Perak) di Kabupaten Deli Serdang, sebelum akhirnya berpindah ke Deli Tua dari abad ke-14 hingga 16 Masehi setelah diserang oleh Kesultanan Aceh yang murka dengan Kerajaan Aru.
Kerajaan Aru merupakan negeri yang buruk dan dipandang tidak baik oleh kerajaan lain di sekitarnya. Seorang pelaut Portugis, Tome Pires, pada lima abad lalu menggambarkan sosok raja dari negeri Aru sebagai penguasa terbesar di Sumatera yang memiliki banyak penduduk serta kapal. Ia juga menguasai banyak aliran sungai di wilayahnya.
Memang saat itu Kerajaan Aru menjadi negeri yang kaya raya yang berasal dari hasil merompak. Ya, negeri ini adalah negeri bajak laut. Rakyat dan aparat kerajaan pergi melaut untuk membajak kapal-kapal pedagang yang melintas. Sang raja menguasai seluruh barang-barang hasil rampasan. Aru bermusuhan dengan banyak negara, tak terkecuali tetangganya, Malaka.
Dalam catatannya yang berjudul Suma Oriental, Tome Pires menjelaskan bahwa tanpa merompak Kerajaan Aru tak akan bisa hidup. Oleh karena itu tak ada satupun negara yang bisa berkawan dengan mereka. Satu-satunya yang menjalin hubungan dengan Aru adalah Portugal. Raja Aru seorang Moor yang hidup di pedalaman rawa-rawa, sehingga sangat sulit ditembus.
Di balik reputasinya sebagai bajak laut ulung, Kerajaan Aru sebenarnya adalah penghasil beras berkualitas tinggi. Memiliki hasil alam berupa buah dan ternak yang melimpah, serta segala jenis hasil hutan, mulai dari rotan, madu, kamper, dan kemenyan. Namun sayang itu tidak menjadi prioritas. Hampir seluruh kekayaannya diperoleh dari hasil merompak kapal.
Sebelum menyimpang ke jalur haram, awalnya Kerajaan Aru pun adalah seorang yang andal dalam berniaga. Setelah Sriwijaya runtuh, seluruh negeri-negeri jajahannya di Sumatera bagian utara aktif dalam perniagaan internasional, termasuk Kerajaan Aru. Kamper dan aneka jenis resin wangi dari hutan menjadi komoditas unggul untuk dijual kepada pedagang asing,
Pada abad ke-14, negeri Aru mengalami gagal panen dan tanahnya menjadi tandus yang menyebabkan kegagalan komersial. Akhirnya penguasa Aru mengadopsi strategi baru dari perdagangan ke pembajakan. Lokasinya pun berpindah ke Deli Tua, dan sejak itu pamor Aru berubah menjadi negeri bajak laut. Namanya ditakuti sekaligus dibenci oleh semua negara tetangga.
Jika Teluk Aru di Selat Malaka dikaitkan dengan wilayah kekuasaan Aru di masa lalu, maka kondisi geografis ini sangat menguntungkannya menjadi perompak paling ditakuti dalam perniagaan di Selat Malaka. Lokasi basis pemerintahannya yang ada di pedalaman dan sulit sitembus menjadi lokasi sempurna untuk mengatur strategi perompakan di Selat Malaka.
Saat Samudera Pasai berhasil dikalahkan oleh Portugal, Kerajaan Aru saat itu menjadi satu-satunya yang terkuat. Namun tidak lama, seiring dengan naiknya pamor Kesultanan Aceh, posisi Aru mulai terancam. Catatan dari Portugal menyebut dua serangan Aceh pada 1539 telah membuat Raja Aru terbunuh. Sang ratu kemudian meminta bantuan pada Portugal dan Johor.
Tahun 1540, aramada Aceh di Kerajaan Aru hancur oleh gempuran Johor. Pada tahun 1564, Aceh kembali berhasil menaklukkan Aru. Namun lagi-lai berkat Johor, Aru merebut kemerdekaannya. Akhir abad ke-16, negeri Aru hanya menjadi bidak perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor. Setelah Sultan Iskandar Muda dari Aceh naik takhta, riwayat Aru berakhir.
Tahun 1613, pasukan besar Aceh menyerbu Aru dan menangkap rajanya. Pada masa ini sebutan Aru resmi digantikan dengan Deli. Pada 1669, Aru mendapatkan kemerdekaan dari Aceh dengan nama Kesultanan Deli. Tahun 1720, pergantian kekuasaan membuat kerajaan ini terbelah dua dan akhirnya terbentuk Kesultanan Serdang di tahun 1723.